TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko memutuskan akan melaporkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. ICW dilaporkan karena dinilai tidak mampu membuktikan tudingan maupun mencabut pernyataan soal tuduhan pemburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
"Memburu rente adalah tuduhan yang sangat serius, untuk itu saya harus memberikan respon. Saya sudah memberikan kemudahan, dengan sabar saya sudah memberikan kesempatan sampai tiga kali (somasi). Dan (ICW) tidak menunjukkan itikad baiknya untuk mengklarifikasi dengan baik dan meminta maaf. Dengan dasar seperti itu, saya akan melanjutkan untuk melaporkan kepada kepolisian," ujar Moeldoko dalam konferensi pers daring, Selasa, 31 Agustus 2021.
Moeldoko sudah tiga kali melayangkan somasi kepada ICW sebelum akhirnya memutuskan melapor ke polisi. ICW juga sudah menjawab tiga surat somasi Moeldoko. Namun, kuasa hukum Moeldoko, Otto Hasibuan menilai ICW tidak bisa membuktikan tuduhan atas kliennya itu.
Lantas, Moeldoko melayangkan somasi terakhir pada Jumat, 20 Agustus 2021. Ia memberi waktu lima hari kepada ICW untuk meminta maaf dan meralat pernyataan. Bila tidak, maka Moeldoko akan menempuh jalur hukum dengan melapor ke polisi atas pencemaran nama baik dan fitnah.
Sebelumnya, anggota tim kuasa ICW, Muhammad Isnur mengatakan, dalam surat balasan mereka telah ditegaskan beberapa hal. Pertama, ICW menemukan sejumlah indikasi keterlibatan Moeldoko dalam distribusi obat Ivermectin yang berpotensi terjadinya konflik kepentingan. Hal ini didasarkan atas relasi bisnis antara anak Moeldoko dengan Sofia Koswara (Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin) dalam PT Noorpay Nusantara Perkasa.
"Tidak hanya itu, beberapa pemberitaan juga menyebutkan bahwa Moeldoko sempat meminta kepada Sofia agar izin edar Ivermectin segera diproses. Padahal, pada waktu yang sama, uji klinis atas obat Ivermectin belum diselesaikan," ujar Isnur lewat keterangan tertulis, Sabtu, 7 Agustus 2021.
Temuan ICW, lanjut dia, juga merujuk pada informasi yang menyebutkan adanya distribusi Ivermectin oleh HKTI bekerja sama dengan PT Harsen Laboratories kepada sejumlah masyarakat di Jawa Tengah. Tak lama berselang, BPOM menegur PT Harsen Laboratories karena telah menyalahi aturan produksi dan peredaran obat.
Tindakan itu pun dilanjutkan dengan permintaan maaf dari produsen Ivermectin tersebut. "Maka dari itu, wajar jika kemudian masyarakat mendesak adanya klarifikasi dari Moeldoko atas tindakannya terkait obat
Ivermectin," tuturnya.
Kedua, perihal ekspor beras antara HKTI dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa. Dalam surat balasan somasi, ICW sudah meluruskan bahwa telah terjadi misinformasi. Merujuk pada siaran pers yang tertuang di website ICW, disebutkan bahwa HKTI bekerjasama dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa dalam hal mengirimkan kader HKTI ke Thailand guna mengikuti pelatihan tentang Nature Farming dan Teknologi Effective Microorganism.
"Jadi, tidak tepat juga jika misinformasi itu langsung dikatakan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah. Sebab, mens rea bukan mengarah pada tindakan sebagaimana dituduhkan Moeldoko dan itu dapat dibuktikan dengan siaran pers yang telah ICW unggah di website ICW," ujar Isnur.
Isnur menegaskan, kajian seperti ini bukan kali pertama dilakukan. Sejak ICW berdiri, penelitian, khususnya terkait korupsi politik, memang menjadi mandat berdirinya lembaga ini. Salah satu metode yang sering gunakan adalah pemetaan relasi politik antara pejabat publik dengan pebisnis. Atas dasar pemetaan itu nantinya ditemukan konflik kepentingan yang biasanya berujung pada praktik korupsi.
"Maka dari itu, ujarnya, setiap ICW mengeluarkan kajian, salah satu desakannya juga menyasar kepada pejabat publik agar melakukan klarifikasi," ujar Isnur.
Menurutnya, pemantauan terhadap kinerja pejabat publik, salah satunya terhadap Moeldoko, dalam bingkai penelitian merupakan bagian dari bentuk partisipasi masyarakat yang dijamin dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan banyak kesepakatan internasional.
Baca juga: YLBHI Duga Somasi Jadi Modus Baru Tekan Kebebasan Berpendapat
DEWI NURITA