TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo keberatan dituntut hukuman 5 tahun penjara di kasus suap ekspor benih lobster. “Sangat berat,” kata Edhy saat membacakan pleidoi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 9 Juli 2021.
Edhy mengatakan usianya sudah 49 tahun. Dia bilang kemampuannya menanggung beban berat sudah berkurang. Dia juga mengatakan masih punya tanggung jawab, yaitu istri dan tiga anak.
Karena alasan itulah, Edhy merasa tuntutan hukuman jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi terlampau tinggi. Jaksa KPK menuntut Edhy 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut mantan politikus Partai Gerindra itu membayar uang pengganti Rp 9,6 miliar dan US$ 77 ribu.
Edhy membantah menerima duit suap dari pengusaha. Dia mengatakan bukan pemilik dari PT Aeor Citra Kargo, perusahaan yang memonopoli pengiriman benih lobster ke luar negeri. “Tuntutan tersebut didasarkan atas dakwaan yang sama sekali tidak benar,” kata dia.
Jaksa KPK mendakwa Edhy dan anak buahnya menerima suap Rp 24 miliar dan US$ 77 ribu. Duit diberikan agar Edhy mempercepat proses pengajuan izin budidaya dan ekspor benih lobster.
Indonesia Corruption Watch justru menilai tuntutan hukum kepada Edhy sebagai penghinaan terhadap rasa keadilan masyarakat. ICW menilai tuntutan hukuman itu kelewat rendah. “Benar-benar telah menghina rasa keadilan,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Rabu, 30 Juni 2021.
Kurnia menyamakan tuntutan itu dengan tuntutan seorang kepala desa di Kabupaten Rokan Hilir Riau yang terbukti melakukan korupsi sebesar Rp 399 juta pada akhir 2017. Padahal, menurut Kurnia, KPK bisa menuntut Edhy Prabowo dengan hukuman maksimal hingga seumur hidup penjara. Dia menimbang banyaknya duit yang diduga dikorupsi Edhy. Terlebih, kasus dugaan korupsi itu dilakukan saat pandemi Covid-19. “Majelis hakim sebaiknya mengabaikan tuntutan jaksa, lalu menjatuhkan vonis maksimal,” ujarnya.
Baca juga: Edhy Prabowo Minta Maaf ke Jokowi dan Prabowo Subianto