TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, melihat wajar jika mahasiswa tidak melihat peran Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam penanganan pandemi.
Ujang mengatakan Presiden dan Wakil Presiden idealnya saling melengkapi. “Seharusnya saling mengisi antara dua kekuatan orang nomor 1 dan 2,” kata Ujang kepada Tempo, Rabu, 7 Juli 2021.
Ujang mengatakan, ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak bisa menangani persoalan, Ma’ruf semestinya memiliki peran signifikan dalam mengatasinya. Karena pada prinsipnya, peran wakil presiden adalah membantu presiden dalam kebijakan apapun.
“Sama dulu ketika Soekarno-Hatta, Hatta mengisi kekurangan yang dimiliki Soekarno sehingga menjadi dwitunggal. Ada hal seperti itu yang diharapkan rakyat Indonesia,” katanya.
Dalam penanganan pandemi, misalnya, Ujang menilai Ma’ruf harusnya bergerak dan turun tangan. Tetapi, Jokowi memberikan peran penanganan tersebut kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Padahal, kata Ujang, kementerian yang dipimpin Luhut secara garis profesional tidak berhubungan dengan virus corona.
Ujang memperkirakan, minimnya peran Ma’ruf dalam kondisi seperti ini karena Jokowi hanya memberikan peran sebatas pada persoalan ekonomi syariah. Padahal, Ma’ruf sebagai wakil presiden seharusnya bisa menyelesaikan banyak persoalan kebangsaan, termasuk penanganan Covid-19.
“Tidak semua lini dan semua sektor. Itu yang diberikan Pak Presiden. Sehingga karena ruang lingkupnya kecil, maka lini-lini kehidupan sektor publik yang lain tidak terlihat perannya,” ujarnya.
Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BEM KM Unnes) sebelumnya menyematkan gelar The King of Silent kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Mereka berpendapat, Ma’ruf tidak dapat mengisi kekosongan peran yang tidak mampu ditunaikan Presiden Jokowi.
Baca juga: Ma'ruf Amin Promosikan Wisata Raja Ampat