TEMPO Interaktif, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tidak pernah ikut merekomendasikan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) dalam gelar perkara kasus penjualan kapal tanker raksasa atau Very Large Crude Carrier (VLCC) milik PT Pertamina.
"Yang jelas kami tidak pernah merekomendasikan ke sana, saya pun berpendapat secara pribadi sebaiknya tidak usah mengirim ke sana," ujar Wakil Ketua KPK bidang Penindakan, Bibit Samad Rianto, saat dihubungi Jumat sore (21/11).
Menyikapi Kejaksaan yang menyatakan bahwa SP3 itu merupakan rekomendasi dari KPK, Bibit menyatakan masih menunggu laporan dari Kejaksaan siapa saja yang hadir saat itu. Tapi secara pribadi, bersama Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah, ia berpendapat tidak mengirim perwakilan dalam gelar perkara tersebut.
"Artinya kami tidak mengerti masalah dari awal. Kalau kami di-fait a compli dari awal, kami juga tidak mau. Pimpinan selain saya juga ada Pak Chandra juga lah, per sms," ujar Bibit.
Ia menegaskan, kewenangan mengeluarkan SP3 itu merupakan kewenangan Kejaksaan Agung dan KPK tidak berhak mencampuri.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari seorang sumber di KPK, KPK telah menerima undangan gelar perkara. Namun, tidak ada satupun perwakilan yang dikirimkan KPK pada gelar perkara tersebut.
Sehari sebelumnya, pada Kamis (20/11), Kejaksaan menyatakan SP3 kasus VLCC diputuskan setelah gelar perkara dilakukan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasilnya menurut juru bicara Kejagung, Djasman Pandjaitan mereka tidak menemukan kerugian negara.
Dalam kasus VLCC ini, Kejaksaan sempat menetapkan tiga orang tersangka. Yaitu, Laksmana Sukardi, bekas Direktur Utama Pertamina, Arifin Nawawi, dan Mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred H. Rohimone. Kejaksaan sempat menganggap mereka bersalah karena menjual VLCC Hull 1540 dan 1541 pada tahun 2004 tanpa persetujuan Menteri Keuangan.
Dua kapal yang masih berada dalam tahap pembuatan di Hyundai Heavy Industries itu, langsung dijual ke Frontline senilai US$ 184 juta. Akibatnya negara dirugikan US$ 20-56 Juta. Karena harga VLCC di pasar saat itu diperkirakan mencapai US$ 204-240 juta.
Cheta Nilawaty