TEMPO.CO, Jakarta - Nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) masih juga digantungkan. Padahal, RUU ini dinilai memiliki urgensi yang besar sebagai payung hukum para PRT yang kerap mendapat diskriminasi hingga kekerasan.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan kebanyakan PRT ini adalah perempuan. Mereka juga sering menerima perlakuan tidak adil hingga marginalisasi. Hal ini tak terlepas dari peraturan perundangan-undangan tentang PRT belum komprehensif.
"Akibat itu semua, PRT tak dapat menikmati kondisi kerja yang layak, tereksklusi dari jaminan sosial, upah rendah, tidak ada batasan jam kerja, mekanisme pengupahan yang tak jelas, tidak ada perlindungan K3," kata Theresia, kepada Tempo pada Kamis, 10 Juni 2021.
Padahal, dari data International Labour Organization (ILO) pada 2015, jumlah PRT di Indonesia mencapai 2,4 juta orang dan diperkirakan terus tumbuh. Data Jala PRT pada 2010 memperkirakan bahwa ada lebih dari 10 juta PRT di Indonesia.
Theresia mengatakan apa yang dilakukan PRT tak hanya berdampak positif pada ekonomi mereka saja, namun juga para pemberi kerja. Ironisnya, hal ini diiringi dengan banyak kasus di antara para PRT dengan pemberi kerja.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraeni mengatakan RUU ini akan membuat PRT diakui sebagai pekerja. Hak-hak dasar dan kesejahteraan PRT akan ikut dipertimbangkan dalam RUU ini. "Untuk menjamin perlindungan dan meningkatkan kualitas hidup, Pekerja Rumah Tangga berhak atas pendidikan dan pelatihan," kata Lita.
Berikut tujuh alasan kenapa RUU ini harus segera disahkan
1. Kategori PRT
Menurut Lita, keuntungan pertama jika RUU ini disahkan adalah akan penggolongan PRT ke dalam dua kelompok. Yakni PRT paruh waktu dan penuh waktu. Karena lingkup kerja PRT yang luas, kategorisasi PRT juga bisa didasarkan pada waktu kerja dan beban kerja.
2. Syarat dan Kondisi Kerja
RUU PPRT ini nantinya juga akan mengatur perjanjian kerja yang lebih berkekuatan hukum, antara pemberi kerja dengan PRT. Mulai dari upah, tunjangan hari raya (THR), waktu kerja, istirahat mingguan, cuti, pelatihan, hingga usia kerja akan ikut diatur.
"Kebanyakan itu mereka kontrak kerja langsung dengan pemberi kerja. Jadi gak ada standarisasinya," kata Theresia Iswarini dari Komnas Perempuan.
3. Pendidikan dan Pelatihan bagi PRT
RUU ini nantinya juga akan mengatur agar PRT mendapat pendidikan dan pelatihan sebelum bekerja. Selain pendidikan tentang pekerjaannya, mereka juga akan dididik untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan yang berbasiskan perlindungan.
Pendidikan dan pelatihan ini akan dilakukan secara gratis melalui Balai Latihan Kerja yang difasilitasi oleh Pemerintah. Tiap calon PRT, bisa mengakses fasilitas ini di wilayah asal ataupun di wilayah kerja.
4. Penyelesaian Perselisihan
Nantinya, akan ada dua opsi dalam penyelesaian perselisihan PRT. Pertama lewat musyawarah, dan kedua lewat mediasi. PRT juga akan diperbolehkan untuk bergabung dengan serikat pekerja, baik sebagai anggota maupun pengurus.
5. Pengawasan
Untuk menjamin perlindungan PRT, nantinya RUU akan mengatur kewenangan dari Dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah di bidang Ketenagakerjaan. Mereka juga akan dibantu oleh pihak RT/RW setempat.
6. Informasi Kerja dan Penyedia Jasa
Dengan adanya UU ini, sumber informasi kerja akan dipusatkan pada balai latihan. Informasi rencananya akan diatur agar dapat diberikan secara berkala.
Selain itu, penyedia jasa penyalur PRT juga akan dilarang. Mereka hanya dapat mengelola informasi mengenai permintaan PRT, namnun tak boleh merekrut, memberi pendidikan dan pelatihan, serta tak boleh menempatkan PRT.
7. Sanksi bagi Penyalur
Alasan terkahir kenapa RUU Perlindungan PRT harus segera disahkan adalah agen penyalur akan diberi sanksi jika terbukti melakukan tindak perdagangan manusia, mempekerjakan dan memalsukan identitas, merotasi, dan menyekap PRT.
Baca juga: 17 Tahun RUU Perlindungan PRT Digantung, Bagaimana Nasibnya Kini?