TEMPO.CO, Jakarta - Sejak pertama kali diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004 silam, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) masih belum menemukan jalannya untuk jadi payung hukum bagi para pekera rumah tangga. Meski belakangan sudah masuk ke Prolegnas Prioritas, namun nasibnya masih juga tak jelas.
Memperingati Hari PRT Internasional pada 16 Juni 2021, para pengusul RUU ini, mulai dari Jala PRT hingga Komnas Perempuan, kembali menegaskan urgensi payung hukum bagi para pekerja rumah tangga.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan semakin hari, resiko ketidakadilan, marginalisasi, hingga diskriminasi terhadap PRT semakin tinggi.
"Ada bias gender, budaya patriarki, feodalisme, bias kelas, dan bias ras juga. Peraturan perundangan-undangan tentang PRT belum komprehensif, apalagi sekarang ada Cipta Kerja yang sama sekali tak mengatur tentang PRT," kata Theresia dalam diskusi pada Selasa, 10 Juni 2021 lalu.
Sejak diusulkan pada 2004, baru pada 2010 RUU ini masuk dalam tahap pembahasan di Komisi 9 DPR. Sepanjang 2011 hingga 2012, Komisi Ketenagakerjaan DPR itu telah melakukan riset di 10 kabupaten/kota, uji publik di 3 kota, hingga studi banding ke dua negara. Pada 2013, draf RUU akhirnya diserahkan ke Baleg.
Namun masuk ke masa bakti DPR 2014-2019, RUU ini seakan lenyap dan hanya sebatas masuk ke daftar tunggu Prolegnas. Harapan baru muncul di periode DPR 2019-2024. Pada 2020 lalu, RUU PPRT ini selesai dibahas di Badan Legislasi dan tinggal masuk ke Badan Musyawarah.
Sayangnya, hingga saat ini prosesnya masih juga tertahan. Belum ada keputusan apakah RUU ini akan menjadi RUU inisiatif untuk kemudian dibahas lebih jauh dan disahkan.
Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, mengatakan sebenarnya sudah ada tujuh fraksi yang menyatakan dukungan pada RUU ini. Diketahui dua fraksi yang belum memberi sikap tegas adalah Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
"RUU ini hampir hilang dari Prolegnas Prioritas 2021. Saya datang ke teman-teman. Saya sebagai Wakil Ketua Baleg, saya lobi habis-habisan teman-teman agar ini tetap di Prolegnas Prioritas 2021," kata Willy dalam diskusi Selasa, 15 Juni 2021.
Ia mengatakan saat ini pekerjaan rumah saat ini, adalah membawa RUU ini ke Rapat Paripurna. Isu ini Willy sebut harus tetap dikawal, apalagi selalu ada peluang di akhir tahun daftar Prolegnas Prioritas masih bisa berubah.
Padahal, RUU ini sangat penting. Ketiadaan payung hukum membuat para PRT tak dapat menikmati kondisi kerja yang layak, tereksklusi dari jaminan sosial, memiliki upah rendah, tidak ada batasan jam kerja, mekanisme pengupahan yang tak jelas, hingga tidak ada perlindungan K3.
Dari data International Labour Organization (ILO) pada 2015, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang dan diperkirakan terus tumbuh. Data Jala PRT pada 2010 memperkirakan bahwa ada lebih dari 10 juta PRT di Indonesia.
Theresia mengatakan ada sejumlah alasan kenapa ada orang menganggap RUU ini tak penting. Salah satunya, adalah adanya bias pandangan yang dimiliki oleh anggota parlemen saat ini. "Secara jujur kami ingin mengatakan dinamika ini sangat diwarnai dengan berbagai bias, yang kami bilang ini bias yang dialami oleh anggota Parlemen kita," kata Theresia.
Hal yang sama diamini oleh Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini. Ia mengatakan bahwa para pengambil kebijakan yang merupakan pejabat dan memiliki PRT di rumahnya, malah mengambil sikap sebagai majikan dalam menyikapi urusan ini,
"Ada conflict of interest. Jadi mereka lebih mewakili diri mereka sebagai majikan, dari pada sebagai wakil rakyat yang harus memberikan perlindungan bagi PRT dan pemberi kerja dari praktek-praktek yang tak baik," kata Lita.
Meski begitu, Willy Aditya masih meyakini bahwa RUU masih bisa menemukan jalannya. Bila rancangan ini berhasil diparipurnakan pada tahun ini, dan diiringi adanya gelombang dukungan yang masif di masyarakat, ia optimistis payung hukum bagi PRT dapat segera terbit.
"Ini Undang-Undang yang populis kok, Undang-Undang yang mempekerjakan rakyat banyak. Cipta Kerja saja bisa disahkan cepat. Kenapa UU yang berpihak nyata pada rakyat tak bisa disahkan?" kata Willy soal RUU Perlindungan PRT.
Baca juga: Urgensi RUU Perlindungan PRT