Menurut sejarawan David Reeve, ini menandai hilangnya gagasan Soekarno pada 1957 bahwa organisasi akan mewakili golongan seperti petani, buruh, pengusaha nasional, pemuda, dan sebagainya. Sebaliknya, Golkar disebutnya menjadi partai pengusaha dan mesin patronase.
Keberadaan para pengusaha ini jugalah, menurut Firman Noor, yang membantu Golkar bangun dari keterpurukan setelah Pemilu 1999. Ia menilai, kebangkitan Golkar di Pemilu 2004 disokong faktor Jusuf Kalla yang memiliki kekuatan modal finansial. “Pak JK mampu mendekati daerah-daerah dengan memberikan gizi kembali kepada mereka,” ujarnya. JK lantas menggantikan Akbar Tanjung menjadi ketua umum Golkar pada Desember 2004.
Adapun menurut Arya Fernandes, Golkar sukses membenahi internal mereka menjadi partai terbuka dan demokratis. Tampuk kepemimpinan partai misalnya, kata dia, secara periodik berganti melalui forum musyawarah. Begitu juga proses pengambilan keputusan lewat forum yang melibatkan seluruh struktur partai di daerah. Arya berujar, kaderisasi serta kompetisi pun terjadi di internal Golkar, tetapi faksi-faksi yang ada relatif terakomodasi.
“Partai bernuansa Orde Baru lainnya tidak berhasil. Golkar bertahan karena dia tidak bergantung pada tokoh internal (patron),” kata Arya.
Kendati begitu, partai tak pelak terpengaruh saat elite-elitenya bergantian hengkang dan mendirikan partai baru. Wiranto misalnya, meninggalkan Golkar setelah Pemilu 2004 dan mendirikan Hanura pada 2006. Ada juga Surya Paloh yang membentuk NasDem dan Prabowo Subianto yang hengkang lalu membidani Gerindra.
Pada akhir 2014, partai juga didera konflik internal dengan dualisme kepemimpinan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Islah baru terjadi bulan Mei 2016 dengan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Bali yang menetapkan Setya Novanto menjadi ketua umum. “Ini kapal tanker besar, banyak yang ingin jadi kaptennya. Ketika tidak tercapai, satu per satu keluar. Itu membawa dampak buruk bagi Golkar,” kata Firman Noor.
Setelah Pemilu 2004, perolehan kursi Golkar di parlemen memang terus menurun. Di Pemilu 2009, partai beringin mendapat 106 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah ini berkurang di Pemilu 2014 menjadi 91 kursi dan di Pemilu 2019 tinggal 85 kursi saja. Menurut Arya Fernandes, meski bertahan dengan menjadi partai terbuka, Golkar minim inovasi. Partai ini juga dinilainya tak cukup tanggap merespons perubahan demografi pemilih.
Arya menyebutkan, basis politik Golkar tidak banyak bergeser sejak Pemilu 1999 hingga 2019, yakni pemilih di luar Jawa, masyarakat rural, berusia di atas 40 tahun. “Demografi pemilih berubah, Golkar relatif agak telat beradaptasi dengan itu,” kata Arya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca: Apakah Romantisme Gambar Soeharto 'Piye Kabare, Enak Jamanku Toh' akan Laku?