TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan data interim uji klinis fase 2 vaksin Nusantara belum cukup menjadi dasar agar penelitian ini berlanjut ke tahap berikutnya.
Kepala BPOM, Penny Lukito, mengatakan mereka timnya mendapat ketidakcukupan keamanan dan kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi serta pembuktian mutu dari produk vaksin dendritik.
Karena itu, Penny menegaskan untuk mendapatkan dasar penelitian yang jelas, diperlukan uji praklinis sebagai tahap awal. "Kegiatan penelitian praklinis sebaiknya dilakukan pendampingan oleh Kemenristek/BRIN sesuai dengan kesepakatan pada rapat dengar pendapat DPR," kata Penny dalam laporan Koran Tempo Edisi Kamis, 15 April 2021.
Vaksin Nusantara ini memang dikembangkan dengan metode berbasis sel dendritik untuk pengobatan infeksi Covid-19. Vaksin mengandung tiga bahan utama, yakni sel dendritik yang diperoleh dari masing-masing orang, antigen SARS-CoV-2 Spike Protein, serta granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) alias sitokin atau protein kecil yang akan merangsang sel. Dua bahan terakhir diproduksi oleh dua perusahaan Amerika Serikat.
Dari laporan Koran Tempo, BPOM menemukan data pengukuran antibodi, alias antibodi imunoglobulin (IgG), pada studi praklinis berubah-ubah. Respons antibodi yang dihasilkan juga tidak konsisten dengan dosis vaksin yang diberikan.
Selain itu respons antibodi IgG juga terlihat meningkat hanya pada kelompok hewan yang diberi kombinasi antara vaksin dendritik dan GMCSF. Kondisi ini, kata BPOM, menimbulkan asumsi bahwa peningkatan antibodi pada kelompok hewan bukan karena vaksin dendritik, tapi karena pemberian GMCSF. "Namun hal ini belum dapat dipastikan, mengingat dalam studi praklinis ini tidak ada pembandingan dengan GMCSF saja," kata BPOM.
Laporan lengkap soal temuan BPOM ini dapat dibaca di Koran Tempo edisi 15 April 2021 Modal Nekat Vaksin Nusantara.