TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai penamaan Vaksin Nusantara mengandung tendensi yang tidak pas. "Seolah mengesankan ini produk dalam negeri atau kreasi dalam negeri padahal faktanya tidak," kata Dicky kepada Tempo, Rabu, 14 April 2021.
Dicky mengatakan, dalam dunia ilmiah, hal tersebut tidak etis. Sebab, metode berbasis sel dendritik pada Vaksin Covid-19 bukan dicetuskan oleh orang Indonesia. "Itu sudah lama. Satu dekade terakhir masalah dendritik sel itu mengemuka dan masih dalam preklinik," katanya.
Menurut Dicky, dalam dunia ilmiah, metode tersebut memang diakui memiliki potensi. Namun, saat berbicara strategi pandemi, peneliti harus memilih intervensi, teknologi, atau riset yang jelas memberikan dampak terhadap perbaikan kesehatan masyarakat. "Jadi kalau memilih riset vaksin artinya yang memang memiliki dasar ilmiah yang kuat atau rekomendasi ilmiah yang kuat," ujar dia.
Dicky mencontohkan metode messenger RNA atau mRNA dalam teknologi vaksin cenderung baru. Namun, rujukan ilmiahnya sudah banyak dan kuat, sehingga beberapa vaksin Covid-19 yang dikembangkan negara maju menggunakan teknologi tersebut.
Teknologi mRNA, kata Dicky, mampu menghadapi virus dengan karakter SARS-CoV-2 yang sering bermutasi dan punya banyak varian. "Dia sangat dinamis, teknologi ini bisa memodifikasi sehingga bisa merespons varian baru yang muncul," katanya.
Dicky menilai penggunaan teknologi sel dendritik dalam vaksin yang dikembangkan oleh eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu masih dalam kajian yang sangat panjang. Studi preklinisnya masih terus dilakukan karena belum banyak data atau hasil yang meyakinkan.
Selain itu, sel dendritik juga tidak tepat dan efektif dijadikan strategi kesehatan masyarakat. "Karena tenaga SDM yang diperlukan untuk melakukan pemberian vaksin ini luar biasa banyak, intensif lagi. Beda dengan vaksin biasa yang 1 orang bisa lakukan sendiri," tutur Dicky.
Vaksin dengan sel dendritik, kata Dicky, harus menggunakan rumah sakit dan tidak bisa dilakukan di Puskesmas atau Posyandu. Dari segi biaya juga mahal. "Rata-rata Rp 200 jutaan kalau lihat di Jepang yang untuk kanker. Mahal sekali. Artinya untuk strategi kesehatan masyarakat enggak efektif. Yang testing kita 1 jutaan saja sudah megap-megap mahal," kata dia soal vaksin Nusantara.
Baca juga: Penelitian Vaksin Nusantara di RSUP Kariadi Dihentikan