TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan penyelenggara pilkada harus mengevaluasi diri. Khususnya, kata dia, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2020 di Kalimantan Selatan.
"Penyelenggara mesti melakukan evaluasi, aspek apa yang menjadi persoalan, kenapa akhirnya MK memutuskan untuk PSU," kata Fadli kepada Tempo, Ahad, 21 Maret 2021.
Fadli menerangkan evaluasi tersebut penting agar persoalan tidak terulang, terutama memastikan penyelenggara bisa netral, profesional, dan hati-hati dalam melaksanakan PSU.
Selain itu, potensi politik uang juga harus diwaspadai dalam penyelenggaraan PSU. Ia meminta pengawas pemilu dan penegak hukum dalam melakukan aspek pencegahan dan penindakan mesti sama kuatnya.
Terkait modus politik uang, Fadli menyebut bentuknya bisa terus berkembang. Yang pasti, kata dia, pemberian uang tunai kepada pemilih dalam momentum pemilihan yang punya tendensi kontestasi tidak diperbolehkan. "Ketegasan ini yang perlu dijajaki betul oleh pembentuk undang-undang," ujarnya.
Pada Jumat lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pasangan calon Denny Indrayana - Difriadi Drajat terkait hasil Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan 2020.
Mahkamah menyatakan telah terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan Pilgub Kalsel 2020, yakni soal penggelembungan suara untuk pasangan Sahbirin Noor-Muhidin.
MK lantas memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang di seluruh TPS di enam kecamatan dan di 24 TPS di Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin. Enam kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Banjarmasin Selatan (Kota Banjarmasin), Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan Martapura, Kecamatan Mataraman, dan Kecamatan Astambul (Kabupaten Banjar).
Baca: Ini 3 Strategi Denny Indrayana Hadapi Pemungutan Suara Ulang