TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Antiradikalisme Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) menuai perhatian lantaran meminta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menghukum Din Syamsuddin atas dugaan pelanggaran disiplin PNS. GAR ITB sebelumnya mengadukan Din ke KASN dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) lantaran menilai Din telah melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku ASN.
"Kami serahkan mekanisme sepenuhnya kepada KASN karena fungsi GAR di sini hanya melaporkan," kata perwakilan GAR ITB, Shinta Madesari Hudiarto ketika dihubungi, Sabtu, 13 Februari 2021.
GAR ITB melaporkan Din Syamsuddin kepada Kepala KASN dan Ketua BKN lewat surat tertanggal 28 Oktober 2020. Dalam layang bernomor 05/Lap/GAR-ITB/X/2020 itu tertera perihal Laporan Pelanggaran Disiplin PNS atas Nama Terlapor Prof. Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, M.A., Ph.D.
Baca: Mahfud Md: Din Syamsuddin Kritis, Bukan Radikalis
Di pembukaan surat, GAR ITB memperkenalkan diri sebagai alumni ITB lintas jurusan dan lintas angkatan. Adapun dalam lampiran, tertera 2.075 nama alumni ITB dari angkatan 1956 hingga 2017. Dari 37 halaman surat, sebanyak 26 halaman berisi lampiran nama alumni.
Pada 25 Juni 2020, GAR ITB juga mengirim surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Ketua Majelis Wali Amanat ITB yang isinya meminta Din diberhentikan dari anggota MWA ITB. Dalam lampiran surat, ada 1.335 nama yang diklaim alumni ITB dari berbagai jurusan, angkatan 1957 hingga 2014.
Alasan-alasan yang dikemukakan dalam desakan pencopotan Din dari MWA itu hampir sama dengan isi surat kepada KASN dan BKN. Bedanya, surat kepada KASN dan BKN tak lagi menyinggung rekam jejak Din pernah menghadiri dan berpidato dalam konferensi khilafah internasional pada 2007; keputusan Din mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban; serta perbedaan sikapnya dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pilpres 2019.
Dalam surat kepada KASN dan BKN, GAR ITB menilai Din bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya. Ini merujuk pada pernyataan Din yang dianggap melontarkan tuduhan tentang adanya ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses peradilan di Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres 2019.
Din juga dianggap mendiskreditkan dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang berisiko memicu disintegrasi bangsa. Buktinya, menurut GAR ITB, adalah pernyataan Din dalam webinar "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19" yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) pada 1 Juni 2020.
Kiprah Din dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) juga turut dipersoalkan. KAMI dinilai sebagai cerminan oposisi pemerintah. Din dianggap melanggar sumpah dan kewajibannya sebagai ASN untuk selalu setia dan taat sepenuhnya kepada pemerintahan yang sah dengan menjadi pemimpin dan bergabung dalam organisasi ini.
Selain itu, GAR ITB menilai Din melontarkan fitnah dan mengeksploitasi sentimen agama saat merespons kejadian penganiayaan fisik yang dialami ulama Syekh Ali Jaber. Padahal, tulis GAR ITB, kejadian itu merupakan kasus pidana umum. "GAR ITB melihat adanya nuansa licik dalam cara terlapor mendramatisasi kasus kriminal tersebut."
"Terlapor telah melakukan berbagai tindak pelanggaran disiplin PNS, yang berdampak negatif pada pemerintah dan NKRI," begitu tertulis dalam surat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan pemerintah tak pernah menganggap Din Syamsuddin radikal atau penganut radikalisme. Ia menyebut Din pengusung moderasi beragama atau washatiyyah Islam yang juga diusung oleh pemerintah.
Selain melaporkan Din Syamsuddin, GAR ITB juga melaporkan seorang dekan ITB kepada KASN atas dugaan pelanggaran netralitas karena diduga menjadi anggota partai politik saat mendaftar menjadi PNS. Anggota MWA Nurhayati Subakat pun pernah mendapatkan surat terbuka terkait keterlibatan Paragon Technology & Innovation dalam program Beasiswa Perintis.