Pada pertengahan tahun 1980-an, perlawanan gelombang kedua datang dari personel GAM yang kembali dari pengasingan. Mereka merekrut para anggota baru untuk diberi pelatihan militer sebagaimana mereka pernah berlatih di luar negeri. Beberapa ada yang dilatih militer Libya. Negara sosialis di bawah komando Muammar Khadafi itu, plus Iran dan sejumlah negara serta lembaga donor lain, membantu pendanaan dan persenjataan GAM dalam gelombang perlawanan kedua ini.
Menyambut perlawanan GAM, Rezim Soeharto bertindak semakin keras dengan mendeklarasikan Aceh Menjadi Daerah Oprasi Militer (DOM) pada 1989. Perlawanan balik dari pemerintah Indonesia di gelombang kedua lebih berdarah-darah. Pelaksanaan DOM melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM.
Eskalasi konflik meluas sekaligus membuat jumlah korban luka-luka, pengusiran dari tempat tinggal, serta yang meninggal lebih banyak dibanding perlawanan gelombang pertama. Warga sipil lebih banyak yang menjadi korban ketimbang kedua pihak yang berseteru. Menurut berbagai versi, total korban jiwa berada di kisaran 2.000-10.000, baik dari kelompok milisi maupun warga sipil.
Usai kejatuhan Soeharto, Presiden Habibie menarik pasukannya dari Aceh sebagai realisasi komitmen menjaga amanat reformasi. Namun, situasi ini dimanfaatkan GAM untuk mengkonsolidasi kekuatannya yang tersisa. Mereka merekrut kaum muda Aceh dengan mengeksploitasi narasi brutal tentang kelakuan militer Indonesia selama pemberlakuan DOM di Aceh.
Perlawanan di Aceh digelorakan lagi oleh GAM pada akhir 1999 dengan menyasar pejabat pemerintahan lokal dan penduduk pendatang dari Jawa. Modal gerilya baru didapat dengan cara menyelundupkan senjata ilegal dari Thailand. Pemerintah RI kembali menerjunkan lebih banyak tentara ke Aceh, terutama di era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Akibatnya represi kepada warga sipil Aceh pun kembali meningkat, korban jiwa juga semakin banyak.