TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Muzakir Manaf atau Mualem, menginstruksikan seluruh eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperingati milad atau ulang tahun pada hari ini, Jumat, 4 Desember 2020 dengan doa bersama. Selain itu, KPA Pusat juga meminta eks kombantan menyantuni anak yatim, dan berziarah ke makam pejuang.
Juru bicara KPA, Ahzari mengatakan peringatan hari ini agar masyarakat Aceh tidak lupa terhadap sejarah. Apalagi tanggal itu merupakan sejarah masa lalu yang membekas di masyarakat Aceh bahkan dunia hingga saat ini.
"4 Desember suatu sejarah yang terjadi di Aceh dan wajib, tidak bisa dilupakan. Wajib dikenang dan 4 Desember ini kita peringati seperti biasa, doa, zikir, dan ziarah," ujar Azhari seperti dikutip dari Antara, Kamis, 3 Desember 2020.
Tepat 41 tahun lalu, pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah Indonesia di Perbukitan Halinon, Pidie. Hasan mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara).
Pemicu Konflik ini adalah kemarahan atas penyelenggaraan pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa dan eksploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi masyarakat Aceh.
Harry Kawilarang dalam bukunya yang berjudul, Aceh: Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, menyebut kepemimpinan rezim orde baru di bawah pimpinan Soeharto menimbulkan kekecewaan terutama di kalangan elit Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1 persen dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14 persen dari GDP nasional. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh diambil oleh pembentuk kebijakan di Jakarta.
Meningkatnya produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 milliar dolar Amerika tidak memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagian besar dari pendapatan di Aceh diserap oleh petinggi pemerintahan di Jakarta.
Setelah mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro membuktikan perannya dalam upaya memerdekakan bangsa Aceh. Ia keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia. Pada 1979, karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.