Hal itu ia nilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas. Pengusaha bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.
“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5 persen hingga 15 persen saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” katanya.
Hal kelima yang buruh tolak adalah waktu kerja yang eksploitatif. Sedangkan yang keenam, Iqbal mengatakan omnibus law menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti. "Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang," tuturnya.
Terakhir, ucap Iqbal, karena karyawan kontrak dan outsourcing bisa seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang. “Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras," ujar dia.