TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Refly Harun, mempersilakan masyarakat untuk menghadiri deklarasi terbuka perkumpulannya itu, Selasa, 18 Agustus 2020. Namun, ia meminta peserta memperhatikan sejumlah persyaratan.
Berdasarkan undangan yang dibuat panitia, kata Refly, masyarakat yang ingin hadir harus memakai baju daerah, baju keagamaan, atau batik lengan panjang. Peserta wajib mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan menggunakan masker, membawa cairan pembersih tangan, dan menjaga jarak.
"Ketiga, diharapkan hanya membawa bendera merah-putih. Dilarang membawa bendera lain," kata Refly melalui channel YouTube-nya, Senin, 17 Agustus 2020.
Deklarasi KAMI rencananya dilaksanakan besok, Selasa, 18 Agustus 2020 di Lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta, mulai pukul 10.00 WIB hingga selesai. Ia mengklaim lebih dari 100 tokoh bakal hadir di acara tersebut.
Beberapa tokoh yang Refly sebutkan antara lain, Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, Rocky Gerung, Ichsanuddin Noorsy, Neno Warisman, Said Didu, dan Rochmat Wahab.
Sebelumnya, Din Syamsuddin mengatakan KAMI ini terdiri dari berbagai elemen bangsa. Mulai dari tokoh lintas agama, akademikus, aktivis, kaum buruh, dan berbagai sosok lintas generasi. Ia mengklaim dukungan terhadap gerakan ini berasal dari dalam dan luar negeri.
Adapun alasan pembentukan KAMI, menurut Din, adalah adanya persamaan pikiran dan pandangan bahwa kehidupan dan kenegaraan Indonesia saat ini telah menyimpang dari cita-cita nasional dan dari nilai-nilai dasar yang telah disepakati pendiri bangsa.
"KAMI dapat membuktikan telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan terhadap nilai nilai itu. Semua bersepakat," kata Din.
Selain itu, ia mengatakan, KAMI sebenarnya masih menaruh harapan khususnya kepada partai politik dan DPR. Saat ini, Din mengatakan para wakil rakyat itu tak mau menyuarakan aspirasi rakyat. "Inilah yang membuat kami, kita semua turun sendiri untuk menyuarakan suara kita, pikiran kita," kata dia.
Din mengatakan sebagai gerakan moral, maka gerakan yang dia gagas itu juga berdimensi politik. Namun ia menolak gerakan dia disebut sebagai politik praktis. Ia menyebut gerakannya adalah politik moral yang lebih tinggi dari politik praktis.
"Dan ini dijamin oleh undang-undang untuk berserikat, untuk melakukan social control, pengawasan sosial. Dengan kritik, dengan koreksi, bahwa nanti pendukung kami, jejaringnya, melakukan aksi-aksi itu bagian dari gerakan moral, terutama untuk menyampaikan pendapat," kata Din.