TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat yang menolak Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja menggelar "unjuk rasa" di Twitter. Mereka menggaungkan tagar jegal omnibus law. Belakangan, hastag ini trending.
Dalam undangan aksinya, koalisi menyebut tagar jegal omnibus law ini mewakili mereka yang menolak aturan sapu jagat tersebut tapi tidak bisa turun ke jalan. Hari ini, Jumat, 14 Agustus 2020, sebagian elemen masyarakat menggelar demo di Gedung DPR menolak RUU tersebut.
Salah satunya yang menggelar unjuk rasa ini adalah Koalisi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak).
"Gebrak menilai Omnibus Law bertentangan dengan konstitusi negara karena banyak memuat pasal yang merugikan rakyat, mulai petani, buruh, nelayan hingga masyarakat adat," kata salah satu juru bicara Gebrak sekaligus Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, dalam keterangan tertulis, Jumat, 14 Agustus 2020.
Dewi menjelaskan pihaknya nekat menggelar aksi di tengah pandemi Covid-19 lantaran DPR dan pemerintah yang ngotot melanjutkan membahas RUU bertipe Omnibus Law itu. "Meski sudah dihujani kritikan tajam dari berbagai pihak," tuturnya.
Sejumlah kalangan menyebut ada beberapa pasal yang dinilai bermasalah. Berikut beberapa pasal bermasalah dalam RUU Cipta Kerja seperti dalam kajian Aliansi Rakyat Bergerak, Rapat Rakyat: Mosi Parlemen Jalanan.
1. Pasal 33
Pasal ini mengubah Pasal 30 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang melarang kegiatan impor kecuali dalam kondisi tertentu.
Dalam Pasal 33 RUU ini disebutkan kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor. "Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan," tulis kajian tersebut.
2. Pasal 66
Pasal ini memuat perubahan definisi ketersediaan pangan pada Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012. Pada RUU Cipta Kerja, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Pasal ini juga mengubah Pasal 14 UU Pangan untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi dalam negeri.