TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menegaskan bahwa penggunaan istilah new normal yang dinilai tak tepat tak perlu dibahas lebih jauh. Meski begitu, ia mengakui istilah luar seperti itu harus lebih hati-hati dalam penggunaannya
"Setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak gunakan new normal, sekarang istilahnya apa itu adaptasi dengan keadaan yang baru. Kita enggak perlu ribut dengan istilah lah," kata Muhadjir saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 13 Juli 2020.
Muhadjir mengatakan bila berangkat dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, kondisi sekarang dikategorikan sebagai masa transisi rehabilitasi sosial ekonomi dan rekonstruksi sosial ekonomi. Namun Muhadjir mengakui Undang-Undang ini tidak terlalu kompatibel dengan bencana nonalam.
Atas dasar itu, lewat inisiatif Komisi VIII DPR, maka Undang-Undang ini akan segera direvisi dengan seiring perkembangan yang ada. Terutama setelah Indonesia terpapar pandemi Covid-19.
"Jadi istilah new normal lockdown itu memang enggak sesuai UU. Sehingga kita kalau gunakan harus hati-hati. Termasuk juga dengan adaptasi baru itu juga tidak ada dalam UU," kata Muhadjir.
Menurut Muhadjir, istilah new normal disebutkan pertama kali oleh Roger McNamee dalam bukunya The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk. McNamee adalah seorang pialang modal. Dalam buku itu, dia membahas bagaimana dia manfaatkan keuntungan besar dalam krisis besar. "Jadi sebenarnya enggak ada urusannya dengan Covid karena dia tulis itu di 2004 sebagai bentuk refleksi itu dari krisis moneter 98. Karena itu kita harus hati-hati gunakan diksi itu," kata dia.