TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum Bagir Manan menilai aneh jika Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak menandatangani pengesahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK hasil revisi.
Ia menyebut hal tersebut sebagai anomali, padahal hasil revisi itu telah disepakati bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Sudah disetujui bersama, tapi tidak ditandatangani. Pertanyaan lebih jauh, presiden tidak tanda tangani berarti ada sesuatu yang tidak disetujui oleh presiden?" kata Bagir saat menjadi saksi ahli sidang formil Undang-undang KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 24 Juni 2020.
Bagir mengatakan secara hukum memang UU anyar itu akan otomatis diundangkan setelah 30 hari meskipun tanpa tanda tangan presiden. Aturan ini juga tertuang dalam ketentuan peralihan UU KPK yang baru.
Namun Bagir menilai langkah ini tak sesuai dengan praktik etika ketatanegaraan. Menurut dia, praktik di mana pun kepala negara selalu mengesahkan UU yang sudah disepakati DPR.
"Karena kalau sudah disetujui DPR itu sudah kehendak rakyat, dia mempunyai kewajiban untuk mengikuti kehendak rakyat," ujar mantan ketua Mahkamah Agung ini.
Bagir mengatakan, sesuatu yang anomali tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan undang-undang yang baik. Sebagai suatu beleid dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, kata dia, Presiden harus menjelaskan alasannya tak menandatangani UU KPK hasil revisi itu.
"Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang cukup yang dapat diketahui publik," ucap dia.