TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK membacakan dakwaan terhadap Wahyu Setiawan pada Kamis, 28 Mei 2020.
Wahyu merupakan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terjerat dugaan suap pergantian antarwaktu caleg PDIP Harun Masiku. Cerita bermula ketika Caleg PDIP Dapil I Sumsel Nazarudin Kiemas meninggal menjelang Pemilu pada April 2019.
Berdasarkan hasil pemilu, almarhum mendapat suara terbanyak di dapil tersebut. Rapat Pleno PDIP pada Juli 2019 memutuskan suara Nazarudin akan dilimpahkan ke Harun.
KPU menolak permohonan PDIP dengan alasan suara Riezky Aprilia lebih banyak ketimbang Harun. Riezky pun ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih pada 1 Oktober 2019.
Belakangan, Harun dan kader PDIP lain, Saeful Bahri, mencoba menyuap Wahyu lewat anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina
Berikut beberapa poin dakwaan yang dibacakan oleh jaksa. Pertama, Wahyu disebut menerima suap Rp 600 juta ketika menjabat Komisioner Komisi Pemilihan Umum(KPU). Suap itu diberikan oleh dua kader PDI Perjuangan, Harun Masiku dan Saeful Bahri. Suap berupa uang secara bertahap sebesar Sin$ 19 ribu dan Sin$ 38.500.
Kemudian, suap ini diberikan agar Wahyu Setiawan mengupayakan KPU menyetujui permohonan pergantian antarwaktu yang diajukan PDIP. PDIP mengusulkan anggota DPR Riezky Aprilia digantikan sesama kader dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I dalam Pemilu 2019, yaitu Harun Masiku. Harun masih buron sampai sekarang.
Wahyu juga disebut menerima Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan. Uang Rp 500 juta dari Dominggus itu diterima melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo. Penerimaan uang disebut berkaitan dengan proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Wahyu Setiawan meminjam rekening istri dan sepupunya bernama Ika Indrayani.