TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Keamanan dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, akan lebih banyak menghasilkan dampak negatif jika benar-benar diterapkan.
"Peranserta TNI yang cukup luas dan kuat dalam fungsi penangkalan dan penindakan akan banyak mengubah wajah penanggulangan terorisme di dalam negeri," ujar Khariul saat dihubungi Tempo, Ahad, 10 Mei 2020.
Khairul mengatakan selama ini upaya mengatasi aksi terorisme di dalam negeri berbasis penegakan hukum. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berperan sebagai ujung tombak dalam upaya pencegahan dan pemulihan, sedang Polri bertindak sebagai juru penindakan.
Yang jadi masalah, Khairul mengatakan Perpres malah mengatur bahwa dalam mengatasi aksi terorisme, TNI melaksanakan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan yang dilaksanakan dengan operasi intelijen, teritorial, operasi informasi dan bentuk-bentuk operasi lainnya.
Namun Khairul mengatakan operasi dalam fungsi penangkalan yang akan dijalankan oleh Koopssus itu, tak diatur sama sekali soal bagaimana hubungannya dengan BNPT, Polri dan lembaga-lembaga lain.
"Apakah berkoordinasi ataukah subordinasi? Tak diatur, ya, berarti bisa berjalan sendiri, dengan inisiatif sendiri, dan tentu saja mengandung potensi pelanggaran hak-hak sipil yang sangat besa," kata dia.
Adapun terkait penindakan, Khairul mengatakan Perpres itu menentukan bentuk-bentuk aksi teror dimana TNI dapat mengerahkan kekuatannya. Masalahnya, ia melihat ada sejumlah bentuk aksi di dalam negeri yang berpotensi memunculkan konflik sektoral dengan Polri.
"Hal ini akan semakin mengaburkan peran dan fungsi BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme, selain berpotensi kuat melanggar HAM dan hukum acara pidana," kata dia.