TEMPO.CO, Jakarta - Migrant Care menerima 205 kasus aduan pelanggaran hak anak buah kapal atau ABK Indonesia sepanjang 2012-2019. Aduan yang diterima beragam. Kasus paling banyak, awak kapal tidak digaji.
“Dari semua kasus yang kami advokasi, 69 persen kasus selesai, 17 persen sebatas konsultasi, dan 14 persen yang masih dalam pendampingan,” ujar Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant CARE, Ika Masruroh, Jumat, 8 Mei 2020.
Data yang diterima Tempo, pada 2012, terdapat 50 kasus aduan. Pada 2013, terdapat 71 kasus aduan. Pada 2014, terdapat 6 kasus aduan. Kemudian ada 21 kasus aduan pada 2015. Rata-rata kasusnya adalah bekerja tidak sesuai kontrak kerja dan dipulangkan sebelum habis kontrak.
Pada 2016, terdapat 30 kasus aduan. Pada 2017, terdapat 16 kasus aduan. Pada 2018, terdapat 9 kasus aduan. Pada 2019, terdapat 2 kasus aduan. Rata-rata para awak mengadukan gaji tidak dibayar dan upah tidak sesuai kontrak.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo mengatakan, kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan memang bukan hal yang baru.
Dalam Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 juga menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan (terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan) sebagai praktek perbudakan modern yang terburuk.
Dalam pemeringkatan ini, kata dia, ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern. “Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan,” ujar Wahyu dalam keterangannya, 8 Mei 2020.
Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan, terutama pada masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti. Namun, kata Wahyu, inisiatif tersebut lebih banyak menyangkut soal praktik di perairan Indonesia, dipicu kasus perbudakan di kapal ikan di perairan Benjina, kepulauan Maluku.
“Inisiatif ini tidak meluas pada nasib pekerja migran Indonesia sebagai ABK di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing yang beroperasi melintas negara. Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BNP2TKI (sekarang BP2MI),” ujar dia.
Dalam perkara ini, kata Wahyu, Kementerian Luar Negeri juga mengalami kesulitan dalam penanganan kasus terkait yuridiksi perkara. “Bisa dibayangkan jika kasus terjadi di kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B dan kasusnya terjadi di lautan dalam otoritas negara C atau di laut bebas. Namun, apapun situasinya seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak buah kapal Indonesia,” ujarnya.