TEMPO.CO, Jakarta - Kabar duka datang dari dunia medis Indonesia. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 1985-1988, Kartono Mohamad, meninggal pada Selasa, 28 April 2020 di Rumah Sakit Pondok Indah. Dikutip dari situs IDI, Kartono terpilih menjadi ketua umum kelima belas PB IDI saat itu melalui muktamar yang digelar di Bandung pada 1985.
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo yang terbit pada edisi 14 Desember 1985, Kartono mengatakan, sebagai Ketua IDI, ia ingin membangun mekanisme kontrol kelulusan fakultas kedokteran. “Sebab, kalau sudah menjadi lulusan, masyarakat tidak lagi menanyakan lulusan mana. Sekarang ini tidak ada keseragaman mutu lulusan dokter,” kata Kartono kala itu. Ia berharap lulusan fakultas kedokteran dari daerah manapun memiliki kualitas yang sama.
Pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939 ini merupakan dokter di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut. Ia pensiun dengan pangkat Mayor. Ia pun pernah menjadi anggota MPR dari utusan golongan pada periode 1987-1992.
Dokter lulusan Universitas Indonesia 1964 ini juga gemar menulis. Kakak dari Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, ini merupakan pimpinan di majalah kedokteran, Medika. Selain itu, Kartono pun banyak menulis di media massa. Tulisan Kartono tak melulu soal kesehatan. Ia bahkan kerap mengkritik kondisi politik di Indonesia.
Dalam salah satu tulisannya di Majalah Tempo pada 1 November 1999, Kartono menyindir Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang baru saja kelar menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kolom berjudul “Visi Utopis GBHN” itu menyebut absurdnya haluan rumusan haluan negara.
Kala itu, MPR baru melahirkan visi GBHN yang berisi membentuk manusia Indonesia yang demokratis, kreatif, dan seterusnya. Ia menyebut visi ini terlalu utopis. Sebab, tidak jelas kapan dan bagaimana visi itu bisa tercapai.
Kartono membandingkan dengan visi pembangunan Malaysia yang dirancang bakal terealisasi pada 2020, terkenal sebagai Wawasan 2020.
Kartono menulis, “Malaysia bercita-cita pada 2020 nanti telah menjadi sebuah negara industri maju yang tidak terlalu menggantungkan diri pada bahan baku yang tidak mereka miliki. Maka, cita-cita mereka bukan menjadi negara industri baja, melainkan negara industri perangkat elektronik, komputer, dan telekomunikasi. Dengan wawasan seperti itu, langkah-langkah yang harus diambil oleh pemerintah Malaysia menjadi jelas, baik hukum, peraturan, sarana dan prasarana.”
Menurut dia, visi adalah impian. “Tapi, seperti kata Mahathir, ‘Vision is an achievable dream.’ Visi adalah impian yang dapat diwujudkan. Karena itu, visi tersebut sebaiknya dirancang untuk dapat direalisasikan dalam sekian tahun mendatang,” tulis Kartono dalam kolomnya.