Salah satu penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau ini pun pernah membandingkan bagaimana perawatan Presiden Soekarno dengan Soeharto. Ia pernah mewawancarai tiga perawat di Wisma Yaso, tempat Presiden pertama itu dirawat. Selain itu, ia juga menggali bahan dari Mahar Mardjono, dokter kepresidenan Soekarno, dan Wu Jie Ping, dokter yang merawat Soekarno. Dari hasil wawancaranya itu, Dokter Kartono menyimpulkan Bung Karno ditelantarkan di hari-hari terakhirnya.
Saat Bung Karno menderita infeksi ginjal akut, ia hanya diberi vitamin B-12, B kompleks, royal jelly, dan Duvadillan, obat untuk mengatasi penyempitan pembuluh darah perifer. Obat-obatan yang lebih baik dan mesin cuci darah sebetulnya sudah tersedia pada masa itu, tapi tak pernah diberikan. ”Pak Mahar Mardjono pernah mengatakan resep yang ditulisnya tak ditukar menjadi obat,” ujar Kartono seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 21 Januari 2008.
Dalam wawancara yang dikutip dari Kompas.com edisi 22 Januari 2008, Kartono mengatakan perlakuan perawatan antara Soekarno dengan Soeharto sangat berbeda. Nggak kayak sekarang. Pak Harto tiap hari dirawat puluhan dokter," kata Kartono saat itu.
Kartono pun pernah meragukan rekam medis kesehatan Soeharto. Ceritanya, pada 31 Agustus 2000, Soeharto seharusnya menjalani sidang perdana. Ia disidang karena didakwa terlibat korupsi—peristiwa yang baru pertama kali terjadi sejak Indonesia merdeka.
Namun, Soeharto tak hadir. Tim pengacara bekas orang nomor satu itu menjelaskan kliennya tak bisa hadir karena sakit. Kartono Mohamad menyebut keterangan tim dokter Soeharto yang dibacakan oleh pengacaranya, "Tidak jelas benar, paling tidak bagi orang nonkedokteran." Kartono mempertanyakan apakah fakta yang diungkapkan dalam sidang tersebut benar-benar membuat Soeharto tidak dapat dihadirkan di pengadilan.
Kartono juga pernah menuangkan gagasannya terkait pemilihan presiden di Indonesia. Dalam kolom yang terbit di Majalah Tempo edisi 29 Juni 2009, Kartono menyebut salah satu kelemahan di Indonesia adalah partai politik belum menjadi tempat pendidikan calon pemimpin secara baik dan menyusun jenjang calon mereka yang akan duduk sebagai pemimpin, di tingkat daerah sekalipun.
“Bahkan untuk menjadi wakil mereka di parlemen, tidak ada persyaratan pengalaman dan kemampuan berpolitik. Ketua partai atau ketua majelis pembina mempunyai kekuasaan untuk menetapkan siapa yang boleh naik dan siapa yang harus gugur. Mungkin kita masih harus menunggu lebih dari lima kali pemilihan umum lagi,” katanya.