TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog Arief Budiman alias Soe Hok Din berpulang pada Kamis, 23 April 2020. Aktivis lintas zaman, sejak Orde Lama hingga Reformasi ini, meninggal di usia 79 tahun. Arief adalah kakak dari Soe Hok Gie--juga seorang aktivis era Orde Lama yang meninggal pada 1969.
Dalam memoarnya yang dimuat Majalah Tempo edisi 23 Juli 2012, Arief mengaku awalnya sempat canggung melontarkan kritik karena memiliki nama Tionghoa. "Namun lama-lama saya cuek. Sebab, kritik yang saya lontarkan dalam konteks keIndonesiaan," tulis Arief ketika itu.
Baca Juga:
Pria kelahiran 3 Januari 1941 ini kerap melontarkan kritik lewat tulisan. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini pernah menjadi redaktur Majalah Horison, anggota Badan Sensor Film, dan anggota Dewan Kesenian Jakarta dalam waktu yang sama.
Pada 1963, ketika masih mahasiswa, Arief ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan, menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) karena dianggap memasung kreativitas. Dua organisasi ini berpolemik salah satunya ihwal 'seni untuk seni'.
Setahun kemudian, Arief mendapat tawaran studi satu semester ke Belgia. Sepulang dari sana, Arief terlibat dalam demonstrasi mahasiswa yang mendesak Presiden Soekarno turun dari jabatannya.
Arief berperan di gerakan Mahasiswa Menggugat serta Komite Anti Korupsi yang muncul pada 1970. Tahun 1971, ia menjadi motor pencetus golongan putih. Dalam Majalah Tempo edisi 19 Juni 1971 Arief pernah mengemukakan pertemuannya dengan Presiden Soeharto dalam aksi-aksi antikorupsi pada 1970.
"Saya tanyakan pada Presiden apakah dibenarkan kalau ada golongan yang tak mau ikut memilih dalam Pemilu" kata Arief ketika itu. Soeharto, kata dia, menyatakan, "Boleh saja, asal saudara bertindak melalui saluran hukum."
Ali Murtopo, orang kepercayaan Soeharto, menyebut golput sebagai kentut. Adapun Menteri Penerangan Budiardjo menganggap golput yang 'orangnya itu-itu juga', seperti halnya gerakan Mahasiswa Menggugat dan Komite Anti Korupsi, akan habis dengan sendirinya.
Namun gagasan golput Arief Budiman jelas tak habis dengan sendirinya--meskipun ia sendiri tak golput pada Pemilu 1999 dan 2004. Gagasan dan gerakan itu melintasi zaman. Menjelang pemilu teranyar pada 2019 lalu, golput diperbincangkan dan menjadi momok bagi kandidat pemilihan presiden.
Dalam memoarnya di Majalah Tempo Juli 2012 itu, Arief mengatakan gerakan golput tercetus karena Pemilu 1971 tidak demokratis. Pemerintah membatasi jumlah partai, keberadaan partai lain pun hanya sebagai pelengkap.
Sebagai bentuk protes itulah, mereka menganjurkan masyarakat tidak memilih atau mencoblos kertas warna putih di luar gambar partai pada kertas suara. Aksi itu kemudian populer sebagai golput. Menurut Arief, istilah golput sendiri adalah ide dari Imam Waluyo.
Arief mengaku tak pernah terbayang istilah golput tenar hingga sekarang. "Menurut saya, sampai sekarang golput tetap sebagai hak politik tiap warga negara meski basis teorinya tak sekuat dulu," ujar dia.
Arief Budiman juga pernah ditahan selama satu bulan tanpa proses pengadilan oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1971. Musababnya, ia mengkritik dan menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang merupakan proyek ambisius Tien Soeharto.
Arief menilai proyek pembangunan itu menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama warga yang menjadi korban pembebasan lahan yang tidak adil. Proyek itu juga mendapat penolakan dari berbagai organisasi mahasiswa dan kepemudaan.
Namun, kata Arief, dialah yang dianggap menjadi aktor di balik gerakan penolakan proyek Taman Mini. Tulisannya yang berisi penolakan itu banyak muncul di media massa. "Padahal bukan saya yang menggerakkan massa," kata Arief.
Bagi para koleganya, Arief adalah sosok pemikir besar yang konsisten. Mantan Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menyebut Arief bukan hanya pemikir yang berteori. Stanley mengaku pertama kali mengenal Arief saat kuliah jurusan teknik elektro di Universitas Kristen Satya Wacana pada 1983. Ketika itu, Arief menjadi dosen di sana.
"Beliau tak hanya berteori, tapi mempraktikkan betul konsistensi kata-kata yang diucapkannya," kata Stanley, dikutip dari Koran Tempo edisi Jumat, 24 April 2020.
MAJALAH TEMPO | KORAN TEMPO