TEMPO.CO, Jakarta - Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan ingin menghidupkan kembali yayasan beasiswa seperti Yayasan Supersemar yang didirikan Soeharto pada 1974. "Saya ingin ada Yayasan Beasiswa yang seperti Supersemar dulu," ujar Mahfud MD dalam sebuah acara Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta pada Selasa, 10 Maret 2020.
Sebagai penerima beasiswa tersebut, Mahfud mengaku sangat mendambakan memiliki yayasan seperti Supersemar. "Tapi nanti kita lihat lah perkembangannya," ujar Mahfud MD.
Yayasan Supersemar adalah sebuah organisasi nirlaba yang didirikan pada 16 Mei 1974 oleh Presiden Soeharto. Yayasan itu bertujuan membantu penyelenggaraan pendidikan melalui bantuan pemberian beasiswa.
Pada 1998, Kejaksaan Agung menemukan penyelewengan dana beasiswa dari Yayasan Supersemar. Penyelewengan diduga mengalir ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Presiden Soeharto mulai 1985 sampai 1998.
Padahal, dana Yayasan Supersemar merupakan uang negara karena dihimpun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Ketika itu, Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan. Gaji pegawai negeri sipil pun dipotong untuk Supersemar.
Awalnya, Kejaksaan Agung mengusut kasus ini secara pidana. Namun, Jaksa Agung Andi M. Ghalib, malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada 11 Oktober 1999. Ghalib beralasan tuduhan Soeharto menyelewengkan dana tak terbukti.
Pada Desember 1999, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Yayasan Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya kembali dibuka. Kejaksaan Agung lantas menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000.
Sempat melewati proses hukum yang berlarut-larut, akhirnya diputuskan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi kepada negara. Pada Juli 2015, MA memenangkan Kejagung, dan sebaliknya, menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Dalam putusan itu dinyatakan bahwa keluarga Soeharto diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp 4,4 triliun kepada negara.
Untuk melunasi ganti rugi itu, Gedung Granadi yang digunakan sebagai kantor oleh Yayasan Supersemar milik Keluarga Cendana disita oleh negara. Dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan, dari Rp 4,4 triliun yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar kepada negara, baru sebanyak Rp 243 miliar aset yang berhasil disita.