TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta Rancangan Undang-undang atau RUU Pertanahan dibahas ulang dari awal. Musababnya, RUU yang masuk dalam daftar 50 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 ini sebelumnya menuai kontroversi karena dianggap lebih menguntungkan pengusaha besar dan bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
"Pembahasan RUU Pertanahan ini harus dimulai dari awal. Kalau masih dengan draf yang lama, ya percuma saja," ujar Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rahma Mary saat dihubungi Tempo pada Jumat, 17 Januari 2020.
Menurut hasil kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, serta akademikus dari Universitas Gadjah Mada, ada empat permasalahan besar dalam draf RUU Pertanahan sebelumnya. Empat masalah itu adalah upaya penghilangan hak-hak masyarakat atas tanah, kemudahan pengusahaan lahan atas nama investasi, penutupan akses masyarakat terhadap lahan, dan kriminalisasi bagi masyarakat.
"Isinya sangat bertentangan dengan UUPA dan visi kerakyatan," ujar Siti. Oleh karena itu harus di-drop semua ketentuan dalam RUU itu, pembahasan harus dimulai dari awal. Bukan lagi membahas pasal per pasal.
Menurut Siti, draf RUU Pertanahan mendatang harus memenuhi beberapa prasyarat. Pertama, harus dipastikan tidak bertentangan dengan UUPA dan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Kedua, harus mampu mewujudkan keadilan agraria, utamanya dengan menghapus ketimpangan penguasaan agraria.
Ketiga, mengatur penyelesaian konflik agraria dengan berlandaskan hak-hak masyarakat yang menjadi korban perampasan-perampasan lahan oleh korporasi maupun negara. "Jadi dari sisi filosofisnya, draf RUU yang sudah bertentangan dengan UUPA, sehingga harus dibatalkan semuanya," ujar Siti.