TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akan segera merampungkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam sepekan. Berikut ini sepuluh pasal kontroversial dalam RKUHP yang menjadi kritik keras sejumlah masyarakat sipil:
1. Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP, soal hukuman mati
Masyarakat menuntut pasal hukuman mati dihapuskan, karena 2/3 negara di dunia juga telah mengahapuskan hukuman mati. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus menjadi hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati dan tidak boleh bergantung pada putusan hakim.
2. Pasal 167 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal pengaturan makar
Definisinya makar dalam RKUHP dinilai tidak sesuai dengan asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan. RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Baca juga:
3. Pasal 218-219 RKUHP, soal penghinaan presiden. Pasal 240-241 RKUHP soal penghinaan pemerintah yang sah. Pasal 353-354 RKUHP soal penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara.
Pasal-pasal ini telah dibatalkan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal ini menunjukkan hadirnya pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis.
4. Pasal 304 RKUHP tentang Tindak Pidana terhadap Agama
Pasal ini dinilai perlu dihapuskan karena jauh dari standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian, dan hanya melindungi agama yang dianut di Indonesia.
5. Pasal 417 ayat (1) tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan.
Masyarakat sipil menilai negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat.
6. Pasal 414-415 RKUHP draft 28 Agustus 2019 soal mempertunjukkan alat pencegah kehamilan
Pasal ini dinilai kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV. Beberapa pandangan menybutkan bahwa kondom adalah cara paling efektif mencegah penyebaran HIV dan sebelumnya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN tahun 1995.
7. Pasal 470 s.d 472 RKUHP draft 28 Agustus 2019 tentang Kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran
Pasal ini hanya terkecuali bagi dokter yang melakukan aborsi dan bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005. Pasal ini dinilai diskriminatif dan berpotensi mengkriminalisasi perempuan.
8. Pasal 604-607 RKUHP soal tindak pidana korupsi
RKUHP tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor, khususnya pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan (delik penuh). Dalam RKUHP saat ini, tidak ada pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
9. Pasal 599-600 RKUHP soal tindak pidana pelanggaran HAM yang berat
Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP. Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000. Masuknya frasa Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif.
10. Pasal 188 soal penyebaran ajaran Komunisme atau Marxisme - Leninisme
Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme atau marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Masyarakat menilai semestinya tak perlu menyebut secara spesifik ideologi tertentu dan lebih fokus pada pemidanaan akibat adanya kekerasan yang membahayakan harta dan manusia.
HALIDA BUNGA FISANDRA