TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju menilai patroli kepolisian di aplikasi WhatsApp tidak boleh dilakukan.
Baca: SafeNet Pertanyakan Dasar Hukum Polisi Pantau Grup WhatsApp
"Enggak boleh dilakukan, karena objeknya jadi semua orang," kata Anggara saat dihubungi, Ahad, 16 Juni 2019. Ia mengatakan, patroli tersebut dapat menjurus pada pengawasan masal yang dikhawatirkan dapat menerobos ruang privat.
Anggara menuturkan, pemeriksaan grup WhatsApp baru bisa dilakukan jika ditemukan adanya kejahatan atau pelanggaran hukum terlebih dahulu. "Harus ada indikasi kejahatan," kata dia. Bila berkaitan dengan penegakan hukum, Anggara menuturkan kepolisian memang memiliki kewenangan itu.
Namun, ia menampik jika hal itu dapat digunakan secara segera. Sebab, dalam konteks penegakan hukum saja, langkah ini merupakan cara terakhir ketika berbagai metode untuk mengejar tersangka jika tidak berhasil.
Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri memantau grup-grup WhatsApp selain melakukan patroli siber di media sosial. Namun, polisi berdalih patroli itu hanya dilakukan di grup WhatsApp yang terindikasi menyebarkan kabar bohong atau hoaks.
Langkah Polri untuk melaksanakan patroli siber dicetuskan usai menangkap tersangka penyebaran hoaks yang disebarkan melalui grup WhatsApp yakni YM, 32 tahun, warga Depok. Polisi menyangka YM menyebar hoaks mengenai percakapan antara Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Hoaks tersebut membuat seolah-olah keduanya telah merekayasa kasus dugaan rencana pembunuhan oleh Kivlan Zen.
Baca: Patroli Siber Polri Pantau Grup WhatsApp yang Sebar Hoaks
Menurut Anggara, penyebaran konten hoaks tidak semata-mata bisa selesai dengan memantau grup WhatsApp. "Sebaiknya literasi ditingkatkan. Data PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan ada persoalan dengan sistem pengajaran kita," ujar dia.