TEMPO.CO, Jakarta - Yuli Lestari, kepala dusun perempuan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sempat mendapat penolakan di kampungnya. Hari itu, ia tetap menjalankankan tugasnya sebagai kepala dusun.
Berbaju lengan panjang dan jilbab berwarna ungu, Yuli berpidato memimpin prosesi kematian tetangga rumahnya di hadapan puluhan penduduk. Yuli juga menyerahkan akta kematian dari Dinas Kependudukan kepada ahli waris.
Guru honorer taman kanak-kanan itu membuang jauh-jauh sakit hati terhadap peristiwa penolakannya. Dia menegaskan tidak dendam terhadap penolaknya. Yuli langsung mengerjakan tugasnya pada pekan pertama setelah resmi menjabat sebagai Kepala Dusun Pandeyan, Desa Bangunharjo, Sewon, Bantul. “Saya berusaha bekerja dengan baik, merangkul warga Pandeyan,” kata Yuli, Selasa 21 Mei 2019.
Perempuan berumur 41 tahun ini telah dilantik sebagai kepala dusun di kantor Balai Desa setempat pada Jumat, 17 Mei 2019. Dua hari setelah dilantik, Yuli bersama suaminya, Muhammad Aris mendatangi Ketua RT 05, Maryono untuk bersilaturahmi dan meminta dukungannya sebagai kepala dusun baru. Yuli juga mengutus saudaranya untuk sowan atau bersilaturahmi ke Ketua RT 04 dan meminta dukungannya.
Maryono merupakan salah satu ketua RT di dusun setempat yang membubuhkan tanda tangan menolak Yuli sebagai dukuh perempuan. Di dusun tersebut terdapat lima RT. Ketua RT 04 Heri, Ketua RT 03 Walijo, dan Ketua RT 02 Suparman juga ikut tanda tangan lengkap dengan materai menolak Yuli. Hanya RT 01 yang tidak ikut tanda tangan karena yang menjabat Ketua RT 01 adalah suami Yuli.
Mereka keberatan dusun tersebut dipimpin seorang perempuan karena meragukan perempuan bisa bekerja maksimal dalam waktu satu kali 24 jam dalam sehari. Contoh keraguan itu adalah ketika ada kejadian tengah malam, maka kepala dusun perempuan akan sulit dihubungi dan susah diajak koordinasi.
Mereka yang menolak Yuli mendatangi Kantor Balai Desa Bangunharjo di hari pelantikan Yuli. Mereka membawa spanduk penolakan dukuh perempuan, membawa keranda, dan membakar ban di selatan pendopo kantor balai desa. Spanduk penolakan itu bertuliskan lebih baik tidak punya dukuh daripada punya dukuh wedok.
Wedok dalam bahasa Jawa punya arti perempuan. Spanduk tersebut bertebaran di sejumlah titik di dusun tersebut. Salah satu spanduk dipasang di gapura. Salah satu yang aktif mendatangi rumah-rumah warga untuk menggalang dukungan menolak dukuh perempuan adalah Ketua RT 03, Walijo. “Itu warga yang nolak, bukan saya,” kata Ketua RT 03, Walijo.
Walijo menyatakan mundur dari jabatan sebagai Ketua RT 03 setelah Yuli dilantik. Papan nama keterangan ketua RT 03 di halaman rumahnya pun sudah ia lepas. Dia beralasan karena sudah tua dan kecapekan. Walijo mengklaim sudah menjabat sebagai Ketua RT 03 selama 17 tahun atau sejak 2002.
Maryono, salah satu tokoh masyarakat di RT 04 mengatakan Ketua RT 03 yang mengumpulkan tanda tangan warga untuk menolak dukuh perempuan. Maryono merupakan salah satu yang ikut tanda tangan.
Menurut dia, penolakan terhadap dukuh perempuan muncul jauh hari sebelum pelantikan. Ada enam orang yang mendaftarkan diri sebagai calon Kepala Dusun Pandeyan. Yuli satu-satunya perempuan dari enam calon tersebut yang tersebar di lima RT.
Saat proses pendaftaran, sebagian masyarakat menghendaki kepala dusun dijabat laki-laki dengan alasan karena khawatir perempuan yang menjabat dukuh tidak bisa mendampingi warga ketika dibutuhkan untuk menangani persoalan-persoalan warga selama satu kali 24 jam. Misalnya ketika ada kasus penggerebekan narkoba malam hari “Apakah bisa tampil satu kali 24 jam. Perempuan paling menyerahkan ke suami,” kata dia.
Yuli menyebutkan desas desus penolakan terhadap kepala dusun perempuan sudah dia dengar sejak ia mengumpulkan 100 foto kopi kartu tanda penduduk (KTP) sebagai salah satu persyaratan administrasi calon kepala dusun yang akan mengikuti seleksi. Yuli memenuhi persyaratan itu dan mengikuti seleksi yang melibatkan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta dalam pemeringkatan nilai seleksi tersebut.
Seleksi itu dilaksanakan pada 4 Mei 2019, meliputi ujian tertulis, psikotest, wawancara, dan praktik teknologi informasi. Hasil seleksi langsung diumumkan pada malam hari itu. Yuli meraih peringkat pertama dengan jumlah skor 73,9.
Yuli bersyukur dia dinyatakan lolos dan memberi kabar orang tua dan keluarganya. Pada hari pengumuman itu, ia mendengar penolakan yang datang dari RT 03 dari keluarganya yang tinggal di RT tersebut. Saat hari pelantikan, Yuli juga mengaku mendapatkan teror dari sekelompok pemuda yang mengendarai sepeda motor dan mengegas motor mereka. Peristiwa itu berlangsung siang hari sebelum ia menyiapkan diri untuk pelantikan di balai desa.
Pemuda yang mengenakan masker itu, kata Yuli melontarkan kata-kata menolak dukuh perempuan sembari melemparkan spanduk penolakan. Spanduk penolakan yang ia tunjukan kepada Tempo bertuliskan jangan remehkan warga kami bisa tanpa anda. “Saya ketakutan dan hanya mengintip dari balik korden,” kata Yuli.
Sekretaris Desa Bangunharjo, Eko Prasetyo menyatakan Yuli tetap dilantik pada Jumat pekan lalu di balai desa. Yuli telah mengikuti seleksi, memenuhi segala persyaratan, dan hasil penilaiannya menunjukkan dia mendapatkan peringkat satu. Camat Sewon, Danang Erwanto juga telah menyetuji permohonan surat rekomendasi pengangkatan pamong Desa Bangunharjo yang dikirimkan oleh Lurah Desa Bangunharjo, Yuni Ardi Wibowo. Surat rekomendasi itu diteken Camat Sewon Danang pada 7 Mei 2019. “Semua sudah sesuai prosedur. Kalau kami tidak melantik justru menyalahi aturan,” kata Eko.