TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch mengatakan pernah melaporkan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Inspektur Jenderal Firli terkait dugaan pelanggaran kode etik berat. Laporan itu terkait pertemuan antara Firli dengan bekas Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi.
Baca juga: 5 Kasus Teror ke Pimpinan dan Pegawai KPK
"ICW sebenarnya sudah lapor, kami sudah meminta informasi perkembangan pemeriksaan, tapi sampai sekarang belum ada respon dari KPK, padahal itu hak kami sebagai pelapor," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dihubungi, Rabu, 10 April 2019.
ICW melaporkan dugaan tindakan pelanggaran kode etik berat Firli pada 1 November 2018. Firli pada Mei 2018, diduga bertemu dengan TGB. Padahal saat itu KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi divestasi PT Newmont di NTB yang menyeret nama TGB.
TGB pernah diperiksa KPK terkait kasus ini. Penyelidik menanyai TGB dengan 20 pertanyaan mengenai keputusan divestasi, penjualan saham serta aliran dana ke rekening pribadinya. “Salah satu pertanyaan tentang aliran dana dari PT Recapital Asset Management ke rekening Bank Syariah Mandiri saya,” kata TGB menceritakan materi pemeriksaannya, kepada Tempo, Jumat, 14 September 2018.
Adapun soal pertemuannya dengan Firli, TGB menampik jika pertemuan itu membincangkan divestasi Newmont. “Saya menghormati beliau. Bagian dari penghormatan saya adalah memastikan beliau bekerja secara profesional,” ucapnya.
ICW menduga Firli melanggar Peraturan KPK nomor 7 tahun 2018 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. ICW menduga Firli melakukan pelanggaran kode etik berat. "Dalam kacamata kami, itu fatal," kata Adnan.
ICW kemudian pernah mengirimkan surat permintaan informasi terkait perkembangan laporannya terhadap Firli ke KPK pada 13 Maret 2019. Namun, menurut Adnan, hingga kini KPK belum menyampaikan perkembangan, padahal ia mendapat informasi pemeriksaan Pemeriksa Internal KPK sudah keluar. "Rekomendasinya adalah dipulangkan (ke institusi asal) karena terjadi pelanggaran berat," kata dia.
Menurut Adnan, kendati PI sudah mengeluarkan rekomendasi itu, keputusan terkait sanksi tetap berada pada pimpinan KPK. Dia menilai pimpinan KPK saat ini tidak tegas dalam mengambil keputusan terkait hal tersebut.
Ketidaktegasan inilah, yang menurut Adnan, membuat sejumlah pegawai KPK membuat petisi. "Petisi ini sebenarnya tidak perlu keluar, ketika hasil keputusan pemeriksaan internal dijalankan, pimpinan KPK tidak bisa mengambil keputusan yang cepat, kuat, tegas dan mewakili karakter institusi," kata dia.
Baca juga: Prabowo akan Beri Pensiun Koruptor, KPK: Kita Tak Boleh Kompromi
Petisi pegawai dibuat oleh 114 penyidik dan penyelidik internal lembaga antirasuah pada 29 Maret 2019. Muara protes tersebut adalah Kedeputian Penindakan KPK. Dalam petisi tersebut pegawai mempermasalahkan soal terhambatnya penanganan perkara di Kedeputian Penindakan, hingga kesulitan mengembangkan perkara korupsi. Pegawai juga mempersoalkan kerap bocornya rencana operasi tangkap tangan, perlakuan istimewa untuk sejumlah saksi, kesulitan dalam menggeledah, dan dibiarkannya dugaan pelanggaran etik berat.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan pimpinan sudah menerima petisi tersebut dan akan mempelajarinya. "Kami perlu pelajari dulu apa isinya," kata Saut, Selasa, 9 April 2019. Firli dikonfirmasi terkait petisi itu melalui pesan singkat dan surat belum menanggapi. Namun, juru bicara KPK, Febri Diansyah memastikan surat itu sudah sampai ke tangan Firli.