TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Firman Noor mengatakan oligarki politik yang menguat di Indonesia bersumber pada dua hal. Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 persen masyarakat menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.
Kedua, adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik. Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. "Jadi siapapun yang menang, dalam keseharian kita tidak merasakan perbedaan karena mereka yang take over," ujar Firman kepada Tempo di Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Maret 2019.
Baca: Peneliti LIPI: Masih Ada Peluang Kejutan Hasil Pilpres 2019
Firman menilai kedua pasangan calon presiden-wakil presiden, Jokowi – Ma’ruf Amin dan Prabowo - Sandiaga belum memiliki gagasan yang jelas untuk memutus rantai oligarki politik.
Dalam acara "Dialog Pilpres Evaluasi Program Capres Bidang Politik dan Ekonomi" yang digelar Kamis, 28 Maret 2019, Firman menanyakannya kepada perwakilan Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma'ruf Amin dan Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga Uno. "Jawaban mereka masih terlalu ngambang, tidak terlalu berani, tidak ada terobosan," kata Firman.
Baca: Peneliti LIPI Jelaskan 4 Alasan Migrasi Suara Jokowi ke Prabowo
Menurut Firman oligarki politik penting diputuskan oleh siapapun yang memerintah. Jika tidak, kata dia, Indonesia akan mengalami demokrasi yang terbajak sehingga ketimpangan terus terjadi dan masyarakat Indonesia tak akan sejahtera.
Masing-masing kubu calon presiden menyampaikan jawabannya. Namun, peneliti LIPI itu menilai jawaban-jawaban itu baru sebatas yang dilakukan pada partai masing-masing. "Apa rumusan pemerintah? Bukan rumusan partai.” Menurut dia, belum tentu rumusan pemerintah bisa diaplikasikan ke partai lain apalagi di dalam pemerintahan.