TEMPO.CO, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mengimbau masyarakat tidak mengaitkan bencana alam dengan politik. Keduanya sama sekali tidak berkaitan.
Baca: Kata BNPB soal RSUD Serang Pungut Biaya Mayat Korban Tsunami
"Saya sampaikan biar tidak digoreng ke mana-mana. Tidak ada kaitan jumlah kejadian bencana terkait dengan ke pemerintahan, baik itu bencana alam maupun bencana yang terkait dengan tropogenik," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Jakarta, Jumat, 28 Desember 2018.
Sutopo menuturkan, bencana alam terjadi setiap tahun. Di bawah pemerintah presiden siapa pun terjadi bencana.
Secara data memang ada perbedaan. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami paling banyak bencana dengan 12.820 kejadian dan korban sebanyak 181.045 orang. Angkanya jauh berbeda dengan pemerintahan Presiden Soeharto, misalnya, yang menghadapi 229 bencana dengan korban 21.186 orang.
Baca: RSUD Serang Pungut Biaya Mayat Enam Korban Tsunami Selat Sunda
Namun, angka itu tidak bisa dibandingkan. Dulu, kata Sutopo, belum ada BNPB dan BPBD sehingga pendataan bencana belum baik seperti saat ini. "Kemajuan teknologi di Indonesia yang terkait dengan pencatatan dan pelaporan bencana juga belum semaju sekarang sehingga kami melihat data bencana memang terus meningkat," ujarnya.
Selain itu, BNPB memprediksi bencana alam akan terus meningkat di masa depan. Sutopo mengatakan rusaknya alam akibat ulah manusia menjadi salah satu faktor.
Sepanjang 2018 saja, BNPB mencatat bencana paling banyak merupakan bencana hidrometeorologi. Bencana tersebut berupa longsor, banjir, puting beliung, kebakaran hutan, hingga kekeringan. Sementara sedikit bencana merupakan bencana geologi seperti gempa, tsunami, dan erupsi gunung berapi meskipun dampaknya lebih besar.