TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutuskan Baiq Nuril Maknun bersalah. Nuril merupakan mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram yang terjerat kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca: Usai Diperiksa Tujuh Jam, Ini Pernyataan Mantan Atasan Baiq Nuril
"Menyatakan terdakwa Baiq Nuril Maknun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,” begitu bunyi poin pertama Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 yang diunggah di website resmi MA pada Kamis, 13 Desember 2018.
Poin kedua, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama enam bulan dan pidana denda sejumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Poin ketiga, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Poin keempat, menetapkan barang bukti berupa satu buah CD yang berisikan isi rekaman pembicaran antara Haji Muslim (mantan Kepala SMAN 7 Mataram) dengan Baiq Nuril Maknun; satu buah Laptop; dua buah HP dan dua buah memori card.
Baca: Laporan Baiq Nuril, Mantan Atasan Diperiksa Polda NTB
Poin kelima, membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah). Demikian putusan tersebut diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada Rabu, 26 September 2018, oleh Sri Murwahyuni, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis.
Baiq Nuril terseret kasus pelanggaran UU ITE akibat diduga menyebarkan rekaman pembicaraannya dengan mantan Kepala SMAN 7 Mataram, Muslim, yang diduga mengandung unsur asusila. Ia sempat ditahan selama menjalani proses persidangan. Sampai akhir November lalu, Baiq masih menunggu salinan putusan kasasi Mahkamah Agung.
Melalui pengacaranya, Joko Jumadi mengatakan salinan putusan tersebut ditunggu karena akan menjadi acuan dalam merampungkan memori pengajuan upaya hukum luar biasanya atau Peninjauan Kembali (PK). "Sampai sekarang salinan putusannya belum kami terima. Jadi kami harus melihat putusan kasasinya dulu, baru bisa mengajukan PK," kata Joko pada Senin, 26 November 2018.