TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak Kejaksaan Tinggi Jakarta menghapus aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat yang dinamai dengan Smart Pakem.
Baca juga: MUI Tak Ingin Agama dan Aliran Kepercayaan Disejajarkan
"Kami meminta Kejaksaan Agung menjalankan wewenangnya dan meminta Kejati DKI untuk membatalkan aplikasi Smart Pakem," ujar Ketua YLBHI, Asfinawati saat dihubungi, Selasa 28 November 2018.
Menurut Asfinawati, aplikasi tersebut rentan memicu konflik bagi penganut agama atau keyakinan tertentu. Karena kata dia, salah satu penyebab dari kasus persekusi terhadap penganut agama dan keyakinan tertentu didasari informasi yang keliru, yang menyebutkan kelompok tersebut sesat.
Asfinawati menambahkan, dengan tuduhan sesat tersebut, sejumlah oknum membenarkan diri untuk melakukan persekusi bahkan tindak kekerasan, seperti pengusiran, pembakaran.
Padahal, kata dia, UUD 1945 telah menyatakan Indonesia merupakan negara hukum, dan menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Jaminan yang sama juga telah tertuang dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, larangan untuk mendiskriminasi atas nama apa pun termasuk agama dan keyakinan.
Pekan lalu, Kejati DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Smart Pakem, aplikasi itu bisa diunduh lewat Google Play SPakem Menurut Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Yulianto mengatakan aplikasi ini dibuat untuk mengedukasi masyarakat dan transparansi.
Baca juga: Mendagri: Ada 2 Cara Penulisan Aliran Kepercayaan di Kolom KTP
Aplikasi pengawasan aliran kepercayaan tersebut mencakup sejumlah fitur seperti daftar keyakinan yang dilarang pemerintah juga ormas-ormas yang dilarang. Terdapat juga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan formulir untuk mengadukan atau memberikan informasi tentang kepercayaan atau sekte-sekte. Yulianto menambahkan, "Melalui aplikasi ini, kami bisa langsung tahu lokasi pelapor."