TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi bakal melanggar Undang-undang bila memberikan grasi kepada Baiq Nuril Maqnun. MaPPI menyebut berdasarkan aturan, grasi hanya bisa diberikan kepada orang yang dihukum di atas dua tahun penjara sedangkan Baiq dihukum 6 bulan.
"Grasi tidak bisa untuk hukuman di bawah 2 tahun, sementara Baiq Nuril hukumannya cuma 6 bulan," kata Ketua Harian MaPPI-FHUI Dio Ashar Wicaksono di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu, 24 November 2018.
Baca: Koalisi Perempuan Serukan 6 Pernyataan Sikap untuk Baiq Nuril
Jokowi sebelumnya menyatakan mendukung Baiq Nuril untuk mencari keadilan dalam kasus penyebaran percakapan asusila atasannya, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim. Dalam kasus itu, Mahkamah Agung memvonis mantan pegawai honorer itu bersalah dan menghukumnya 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Jokowi menyarankan Nuril mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung dan grasi jika hasil PK dianggap tak adil. "Tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke presiden, nah nanti itu bagian saya," kata Jokowi, Senin, 19 November 2018.
Baca: Menteri Yohana Ingin Pelaku Pelecehan Baiq Nuril Dihukum
Grasi merupakan pengampunan dari presiden berupa perubahan, peringanan atau penghapusan pelaksanaan pidana. Menurut UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, putusan yang dapat dimohonkan untuk grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun.
"Ketika presiden bilang mau kasih grasi, berarti dia melakukan penyimpangan hukum yang sangat luar biasa," kata Dio.
Karena itu, Dio mendesak Jokowi agar memberikan amnesti kepada Baiq, bukan grasi. Menurut dia, Baiq merupakan korban pelecehan seksual. "Negara harus bertanggung jawab atas hal ini," kata dia.