TEMPO.CO, Jakarta - Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf mengomentari narasi Orde Baru yang dijual oleh Partai Berkarya untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di pemilihan presiden 2019. Wakil Sekretaris TKN Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani mengatakan, narasi tersebut sah-sah saja dibawakan asal dengan kualifikasi.
Baca: Partai Berkarya Jualan Orba untuk Prabowo, SMRC: Tak Akan Laku
Kualifikasi yang dimaksud Arsul adalah tentang batas mana yang baik dan mana yang buruk. "Kalau narasi yang dibawa itu program yang baik-baik, ya silakan saja, " ujar Arsul di Posko Cemara, Jakarta pada Rabu, 21 November 2018.
Sebagai contoh, Arsul menyebutkan, di zaman pemerintahan Presiden Soeharto itu ada namanya Program Beasiswa Supersemar. "Dan itu ditiru Pak Jokowi dengan adanya beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) saat ini, yang jumlahnya lebih besar," ujar Arsul.
Di zaman Soeharto, kata Arsul, juga terjadi swasembada pangan, dari yang semula kekurangan pangan sampai bisa swasembada pangan di bawah pemerintahan Soeharto. "Nah boleh-boleh saja, setuju dong kita. Tapi kalau bagian KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) ya jangan," ujar Arsul.
Sejak lolos verifikasi menjadi peserta Pemilu 2019, Partai Berkarya yang merupakan besutan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, memang telah menyatakan akan menjual romantisme masa lalu Orde Baru untuk memenangi Pemilu 2019. Merapatnya Titiek Soeharto dan Keluarga Cendana lain ke partai itu semakin menguatkan naras Orde Baru dalam tubuh partai tersebut.
Baca: Titiek Janji Bila Prabowo Menang RI Akan Seperti Era Soeharto
Teranyar, Titiek Soeharto mengatakan Indonesia akan kembali seperti masa Orde Baru jika Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memenangi pilpres 2019. "Sudah cukup. Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia," katanya.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai, narasi Orde Baru tersebut tidak akan laku dijual saat ini. Setidaknya, kata dia, ada tiga alasan yang membuat narasi tersebut sulit dijual.
Pertama, dari sisi ekonomi, Orde Baru yang membawa Indonesia mengalami krisis paling parah dalam sejarah, pada 1998. Kedua, sistem politik di masa Orde Baru adalah sistem otoriter yang didominasi oleh Soeharto dan kroninya.
Baca: Tim Prabowo Tak Pusingkan Respons Narasi Orba Titiek Soeharto
Ketiga, generasi yang saat ini mendominasi penduduk Indonesia adalah yang mulai dewasa di era 1990an dan setelahnya. Generasi ini dinilai belum sempat merasakan 'keindahan Orde Baru' seperti yang didenggungkan Titiek Soeharto. “Yang mereka ingat ya krisis politik dan ekonomi tahun 1998 itu. Jadi sulit untuk menjual isu Orde Baru itu,” ujar Djayadi saat dihubungi Tempo pada Rabu, 21 November 2018.