TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menyatakan ada dua kekhilafan hakim dalam putusan terhadap Baiq Nuril Maknun. Menurut MaPPI, pada dasarnya apa yang dialami oleh eks guru honorer asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu adalah sebuah bentuk kriminalisasi
MaPPI mencatat putusan hakim kurang cermat dalam membuktikan unsur dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Hakim tidak mencermati secara jelas unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut, dimana dalam pasal tersebut yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah orang yang menyebarluaskan," kata peneliti MaPPI FHUI Bestha Inatsan Ashila dalam keterangan pers Jumat, 16 November 2018.
Baca: Kata Juru Bicara MA Soal Putusan Baiq Nuril
Menurut Bestha, sejak awal Nuril tak berniat menyebarluaskan rekaman telepon untuk mencemarkan nama baik M, kepala sekolah tempat Nuril sebelumnya bekerja. Nuril merekam itu untuk menjadi bukit dirinya telah dilecehkan oleh M.
Selain itu, Nuril merekam itu untuk berjaga-jaga bila terjadi hal buruk di kemudian hari. "Sayangnya, majelis hakim tingkat kasasi justru memandang hal tersebut sebagai suatu tindakan pencemaran nama baik," kata Bestha.
Bestha juga menilai putusan MA tidak sesuai dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Berdasarkan aturan itu, dalam mengadili perempuan seharusnya hakim menyadari adanya ketimpangan sosial dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan.
Baca: Internet Lawyer Network Desak Jokowi Beri Amnesti bagi Baiq Nuril
Menurut Bestha, hakim seharusnya dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya. Selain itu, hakim diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat kekerasan yang dilakukan pelaku serta mempertimbangkan dampak kerugian yang dialami korban dari ketidakberdayaannya.
Dalam kasus Baiq Nuril, kata Bestha, hakim seharusnya mampu mengindentifikasikan ketidaksetaraan status sosial antara M dan Baiq Nuril. M merupakan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, sementara Nuril adalah bawahannya sebagai guru. Ketimpangan secara struktural itu membuat Nuril tidak berdaya melawan atasannya, M.
Selain itu, Bestha mengatakan pelecehan seksual secara verbal yang dialami Nuril bukanlah yang pertama, namun sudah terjadi sejak 2012. Hakim, kata dia, seharusnya mempertimbangkan adanya riwayat pelecehan itu, bukan cuma berfokus pada kejadian yang dilaporkan. Dampak psikis korban yang mengalami pelecehan verbal berulang kali maupun tuduhan lingkungan bahwa ia memiliki hubungan gelap dengan M juga seharusnya digali oleh hakim.
"Tanpa adanya inisiatif untuk mengidentifikasi hal-hal kunci dalam kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan, maka putusan yang lahir akan selalu merugikan perempuan," kata Bestha.
Baca: Cari Keadilan, Ini Surat Baiq Nuril dan Anaknya untuk Jokowi
Baiq Nuril sebelumnya kerap mendapatkan pelecehan secara verbal dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M. M kerap menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya melalui sambungan telepon.
Tak nyaman dengan hal itu, Nuril merekam percakapan itu. Dia merekam untuk membantah tudingan dia punya hubungan gelap dengan M. Namun, rekeman itu kemudian menyebar tanpa dia kehendaki. M kemudian melaporkannya dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pengadilan Negeri Mataram memutus Baiq Nuril tidak terbukti menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Jaksa penuntut umum lantas mengajukan banding hingga tingkat kasasi. Mahkamah Agung kemudian memutus Baiq Nuril bersalah pada 26 September 2018. MA menghukum Baiq 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.