TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi enggan menanggapi kritik yang dilontarkan sejumlah kalangan terkait putusan kasasi kasus Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjerat Baiq Nuril. Suhadi mengatakan putusan kasasi itu telah didasarkan pada dakwaan jaksa penuntut umum.
Baca juga: ICJR Pertanyakan Putusan MA dalam Kasus Baiq Nuril
"Independensi hakim itu harus dihormati dalam mengambil putusan. Karena adil atau tidak adilnya itu milik publik, silakan publik menilai," kata Suhadi kepada Tempo, Kamis malam, 15 November 2018.
Pada 26 September 2018 majelis hakim kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Baiq Nuril. Mahkamah menganggap Nuril terbukti melanggar Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU ITE tentang penyebaran konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.
Putusan kasasi ini sekaligus menganulir putusan pengadilan tingkat pertama. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Nuril bebas dari segala tuntutan dan tak bersalah.
"Majelis Mahkamah Agung berpendapat perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari dakwaan penuntut umum, sehingga dinyatakan dia bersalah dan dijatuhi pidana," kata Suhadi.
Suhadi juga menyanggah tudingan sejumlah pihak yang menyebut MA mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 Perma itu menyebut hakim wajib mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Suhadi berujar Sri Murwahyuni pun merupakan salah satu penyusun Perma tersebut. Suhadi juga beralasan, peraturan itu berlaku dalam konteks pemeriksaan di persidangan, terutama tingkat pertama. Jika perempuan sebagai terdakwa atau saksi, kata dia, dalam pemeriksaan hendaknya tidak terlontar kata-kata yang menyangkut pelecehan terhadap perempuan.
"Namun terhadap tindak pidana yang dilakukan tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki," kata Suhadi.
Kasus Baiq Nuril bermula pada 2017 lalu. Nuril ketika itu merupakan guru honorer di salah satu SMA Negeri di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Nuril kerap menerima telepon dari kepala sekolah berinial M.
M kerap menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan perempuan yang bukan istrinya. Baiq Nuril kemudian merekam pembicaraan telepon agar tak dituduh memiliki hubungan dengan M.
Baca juga: Tangis Baiq Nuril, Korban Pelecehan Yang Dipidana
Menurut Institute for Criminal Justice Reform, rekaman itu tersebar tanpa sekehendak Nuril. M lantas melaporkan Nuril dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Saat ini, pelbagai dukungan mengalir untuk Baiq Nuril. Dari ICJR, Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet), dan kelompok masyarakat yang peduli dan aktif melakukan pembelaan terhadap korban UU ITE. Koordinator Regional SAFEnet, Damar Juniarto juga menggalang dana di kitabisa.com untuk membantu Nuril membayar denda sebesar Rp 500 juta.