TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR mempertanyakan putusan Mahkamah Agung atau MA yang menyatakan Baiq Nuril Maknun bersalah atas sangkaan "mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan" yang tertera dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“ICJR menyesalkan dan mempertanyakan putusan kasasi tersebut dan menunjukkan MA tidak hati – hati dalam memutuskan perkara tersebut. Sedari awal ICJR melakukan pemantauan atas kasus ini dan mengirimkan amicus curiae kepada Pengadilan Negeri Mataram, dan berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa Baiq Nuril tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana,” demikian pernyataan tertulis resmi ICJR, Selasa, 13 November 2018.
Baiq Nuril Maknun adalah seorang mantan tenaga honorer di salah satu SMA Negeri di Mataram. Seperti dikutip dalam laporan ICJR, peristiwa ini terjadi pada 2017 lalu. Baiq Nuril saat itu sering ditelepon oleh kepala sekolah di SMA itu berinisial M.
M kemudian menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita yang bukan istrinya. Baiq Nuril kemudian merekam pembicaraan, agar dia tak dituduh berhubungan gelap dengan sang kepala sekolah.
Bukan atas kehendaknya, kemudian rekaman tersebut menyebar, sehingga M melaporkannya dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Mataram No 265/Pid.Sus/2017/ PN. Mtr Baiq Nuril tidak terbukti menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Baiq Nuril jelas merupakan korban pelecehan seksual dari atasannya dan perbuatannya merekam perlakuan M bukan merupakan tindak pidana. Atas putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi, yang putusannya diputus pada 26 September 2018.
Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 baru diterima 9 November 2018 lalu yang menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana
“Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan”
ICJR pun mengajukan tiga poin untuk menyikapi kasus ini. Pertama, ICJR mengingatkan pada jajaran hakim Mahkamah Agung untuk kembali melakukan evaluasi terkait dengan implementasi UU ITE. “Hal ini berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tidak hanya MA, Jaksa dan Polisi juga sepertinya harus benar-benar melakukan evaluasi terkait penggunaan UU ITE ini,”
Kedua, ICJR mengimbau, dalam lingkup peradilan, Hakim Mahkamah Agung juga telah terikat pada Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang berhadapan dengan Hukum, termasuk dalam konteks perempuan yang didakwa melakukan tindak pidana. Lewat Pasal 3 Perma tersebut, hakim wajib mengindentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Dalam perkara ini, Baiq Nuril adalah korban kekerasan seksual. Seharusnya semua hakim menerapkan Perma ini untuk menjamin perlindungan korban kekerasan yang rentan perlakuan kriminalisasi.
Terakhir, ICJR mendesak pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap UU ITE, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan pidana yang banyak menyimpang, termasuk kesesuaian pasal-pasal dalam UU ITE dengan delik pidana yang diduplikasi dari KUHP