TEMPO.CO, Palu – Suara Sarmin, 49 tahun, mantap kala menyebut tugasnya saat ini, yaitu pengoperasi alat berat untuk pencarian korban meninggal gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah.
“Saya memang sudah niat untuk membantu tim evakuasi meski ditentang keluarga,” kata Sarmin yang ditemui di Posko Garuda, Jalan Garuda, Palu, Rabu malam, 10 Oktober 2018.
Baca: Pencarian Korban Gempa Palu Diperpanjang Sampai Hari Ini
Sarmin adalah karyawan perusahaan PT Letawa yang berbasis di Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Dengan pekerjaan yang sama, ia bekerja sebagai pengendali eskavator untuk perusahaan itu. Namun, untuk membantu evakuasi jenazah, ini pengalaman pertamanya.
Keberangkatannya ke Palu adalah tugas perusahaan atas nama kemanusiaan. Perusahannya menerjunkan karyawan untuk menangani korban bencana. Kala itu, Sulawesi Tengah diguncang gempa berkekuatan 7,4 SR pada 28 September lalu. Gempa ini diikuti tsunami. Imbasnya, 2.073 jiwa melayang dan ratusan lainnya belum ditemukan.
Sesaat setelah gempa, ada tawaran menjadi relawan. Ia pun mantap mengiyakan. Kendati, kata Sarmin, keluarga kurang merestui. Ayah satu anak ini meyakinkan keluarga bahwa tugasnya mengemban misi kemanusiaan suaah menjadi impian sejak lama.
Baca: JK Akan Tinjau Penanganan Bencana Gempa Palu bersama Sekjen PBB
Singkat cerita, Sarmin tiba di Palu H+4 pascabencana. Job pertamanya adalah membuka jalur evakuasi di gedung Emmy Saelan, Kota Palu. Saat itu, alat beratnya berfungsi untuk meratakan jalan dan menyediakan jalur masuk-keluar bagi tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas.
“Waktu itu, saya harus berhati-hati benar karena gedung di sekitarnya rawan roboh. Saya harus membuat gerakan sangat halus,” kata Sarmin. Ia pun kudu mengubah kebiasaan saat mengoperasikan alat berat sebab medan yang dihadapinya berbeda.
Ia sudah terbiasa memindahkan kayu dan batu di perkebunan sawit. Sedangkan di lokasi bencana, yang ia ‘garap’ adalah puing-puing bangunan yang di dalamnya diduga terdapat jenazah korban.
Di kawasan gedung Ramayana, Sarmin membuka tujuh jalur masuk bagi Basarnas. Sedangkan di titik lain, laki-laki asal Surakarta itu bukan cuma membuka jalur, tapi juga mengevakuasi jenazah. Sampai Rabu lalu, 10 Oktober, sudah ada 35 jenazah yang ia evakuasi menggunakan eskavator.
Baca: TNI Bantah Ada Penolakan Relawan Asing untuk Korban Gempa Palu
Sarmin paling banyak menemukan jenazah di kawasan terdampak tsunami di Pantai Talise. Kondisi korban saat diangkat ke permukaan sudah tak utuh. “Di Talise, mayat-mayat sudah membusuk,” ujar Sarmin. Ia sampai mengernyitkan dahi saat bercerita. Bau anyir mayat itu menusuk sampai hidung. Matanya berkaca-kaca saat keluarga korban turut menyaksikan prosesnya.
Di Pantai Talise pula Sarmin pernah mengalami pengalaman tak biasa. Saat mengeruk tanah yang sudah bercampur dengan air laut, cakar alat berat Sarmin mencabut organ dalam seorang korban. “Saya tidak sengaja, tidak tahu. Di situ perasaan saya tidak karuan,” katanya. Dengan hati-hati, ia memindahkan bagian organ dalam itu ke tempat kering untuk dievakuasi oleh tim Basarnas. Ia mengandalkan insting penciuman untuk memprediksi ada atau tidaknya mayat.
Peristiwa lain yang ia ingat adalah kala mencari korban tertimbun reruntuhan di Balaroa. Di lokasi itu, ujar Sarmin, kondisi mayat tak terlalu busuk. Namun setengah mati ia mencarinya. Selama sepekan, ia hanya menemukan 7 korban.
Baca: Pengungsi Gempa Palu Kesulitan Mendapat Bantuan Beras
Dalam proses pencarian, bau menyengat keluar dari rongga puing-puing bangunan. Bau itu bercampur antara bau mayat dan gas. Gas di pemukiman warga sempat meledak hingga mengakibatkan kawasan perkampungan ini terbakar. Mayat-mayat yang ditemukan pun gosong.
Sarmin mengaku kerap mengalami pergolakan. Kadang, ia tak tahan dengan kondisi di depan mata. Namun, naluri kemanusiaannya memenangkan pergolakan itu. Ia mengklaim tak banyak operator alat berat yang sanggup mengerjakan hal serupa.
Selain soal kondisi mayat, di Balaroa, Sarmin pernah mengalami pengalaman tak terlupakan. “Saya pernah mencari mayat di masjid besar di Balaroa. Kata warga banyak anak-anak di dalam masjid itu,” kata dia. Namun setelah digali seharian sampai 7 meter, pencarian mereka nihil. Padahal, ada rongga-rongga di dalam masjid yang memungkinkan mayat berada di sana.
Menurut keterangan warga, kata Sarmin, saat gempa terjadi, tanah bergerak dan terbelah. Ada beberapa yang terjerembab ke dalam patahan tanah dan tertimbun oleh lumpur. Menurut saksi mata, ada pula tanah yang terbuka dan orang-orang terjerembab di dalamnya. Setelah itu, tanah tertutup kembali. “Titik yang ditandai masyarakat ada korban, ternyata banyak yang nihil. Saya enggak tahu itu mereka ke mana,” ujarnya.
Hari pertama berjibaku di lokasi evakuasi, Sarmin sempat grogi saat makan. Ia merasa tak tega menyaksikan kondisi para korban di depan mata. Peristiwa ini akan dibingkai dalam kenangannya.
Baca: Dua Pekan Bertugas di Palu, Begini Kondisi Para Relawan