TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Arteria Dahlan menanyai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas bocornya informasi penyelidikan ihwal divestasi dan penjualan saham Newmont yang melibatkan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi atau TGB. Arteria mempertanyakan hal itu sembari membawa Majalah Tempo edisi 14 September 2018 yang bertajuk "Tuan Guru di Ladang Emas".
"Saya ingin katakan Pak Ketua, kebocoran ini adalah kebocoran rahasia," kata Arteria di ruang rapat Komisi Hukum DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2018.
Baca: AJI: Diskusi Hoaks soal Newmont Bentuk Intimidasi Wartawan Tempo
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun mencecar dengan pertanyaan seputar tata kelola keamanan dokumen di KPK. Dia juga bertanya ihwal standard operational procedure (SOP) keamanan dokumen.
Tak hanya itu, Arteria bertanya apakah pimpinan KPK sudah menyikapi kejadian tersebut dengan mencari tahu siapa yang menjadi pembocor. Arteri pun ingin tahu apa sanksi yang akan ditimpakan.
"Sudah diberikan sanksi belum? Atau jangan-jangan belum ada investigasi terkait hal ini, belum ada hasil dengan hal ini," ujarnya.
Dalam Majalah Tempo yang dibawa Arteria itu, tertulis pemberitaan soal dugaan aliran dana Rp 7,3 miliar ke rekening TGB selama 2009-2011. Dari jumlah itu, ada dugaan aliran duit dari PT Recapital Asset Management senilai Rp 1,15 miliar ke rekening TGB.
Baca juga: Komentar Mantan Ketua KPK Soal Pertemuan Firli - TGB Zainul Majdi
Ada pula sejumlah uang yang diduga ditempatkan ke rekening istri pertama dan kedua TGB. Tulisan juga memuat dugaan korupsi berupa kerugian negara atas divestasi Newmont sebesar Rp 223,69 miliar. TGB telah menyampaikan bantahan atas apa yang tertulis di pemberitaan Tempo.
Arteria pun mengungkit bocornya surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) kasus yang menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pada 2013 lalu. Dia mempertanyakan mengapa kebocoran informasi ini kembali terulang. Padahal, ujar Arteria, KPK sebelumnya mengklaim memiliki sistem keamanan terintegrasi (integrated secure system).
Menurut Arteria, kebocoran semacam itu bisa dikenai ancaman hukuman pidana. Dia pun mengusulkan KPK melibatkan kepolisian untuk mencari tahu siapa pembocor informasi internal tersebut. KPK, kata dia, harus bisa menemukan orang itu dalam waktu 30 hari.
Bila perlu, lanjut dia, KPK dapat memanggil wartawan Tempo yang menulis berita tersebut untuk ditanyai. Dia mengklaim, Undang-undang Pers dapat digunakan untuk menekankan bahwa ada batasan dalam menulis pemberitaan.
"Jurnalisnya siapa panggil. Intinya tidak boleh ada proses penyelidikan informasinya diumbar ke publik. Kami mohon dilakukan perbaikan oleh teman-teman yang ada di KPK," kata Arteria.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli menegaskan bahwa Tempo tak bisa membuka identitas narasumber yang tak ingin disebutkan. Hal ini disampaikan Arif menanggapi pernyataan anggota Komisi Hukum DPR Arteria Dahlan tersebut.
"Tentu saja Tempo tidak mungkin membocorkan narasumber yang tak ingin identitasnya disebutkan," kata Arif kepada Tempo, Kamis, 4 Oktober 2018.
Dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, jelas tertulis bahwa wartawan memiliki hak tolak, yakni hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Arif mengatakan, Tempo berpedoman kepada Undang-undang dan bekerja untuk kepentingan publik. Tempo, kata dia, juga telah berulang kali mengecek kebenaran setiap informasi yang diperoleh. Informasi yang kemudian diberitakan pun tidak hanya berasal dari satu narasumber.
"Meski demikian (tidak bisa membuka identitas narasumber), Tempo bersedia bekerja sama dengan pelbagai pihak yang memiliki niat baik dalam pemberantasan korupsi untuk menjadikan Indonesia negeri yang lebih baik," ujarnya.
KORAN TEMPO