TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, acap menyebut istilah tak biasa belakangan ini. Pada awal September lalu, ia melontarkan tempe setipis kartu ATM untuk membahasakan ekonomi lesu. Lantas muncul celetukan tempe saset untuk menggambarkan kondisi serupa.
Baca juga: Kampanye di Kantong NU, Sandiaga Uno Bawa Isu Perbaikan Ekonomi
Selanjutnya, belum lama ini, Sandiaga mengeluarkan istilah politik Teletubbies saat ia bertemu dengan politikus Golkar, Bambang Soesatyo. Keduanya berjumpa di Semarang pada 24 September. Politik Teletubbies ini untuk menyebut kampanye yang damai dan bersahabat meski dengan lawan politik.
Direktur presidential Studies DECODE Fisipol Universitas Gadjah Mada sekaligus pengamat politik, Nyarwi Ahmad, mengatakan gaya komunikasi Sandiaga Uno ini disebut politik dumbing down. "Ini tren istilah yang muncul di Eropa dalam 10 tahun ini untuk menyederhanakan kalimat politik yang sangat serius," kata Nyarwi kepada Tempo, kemarin.
Dalam fenomena dumbing down ini, politikus cenderung menggeser istilah-istilah politik yang rigid dan diplomatis dengan istilah yang mudah dipahami. Biasanya, dumbing down muncul pada masa-masa pemilihan umum. Para kandidat mencoba mencari perhatian masyarakat dengan bahasa pidato yang sederhana dan jenaka.
Politikus, kata Nyarwi, akan mengeluarkan celetukan ujaran bernarasi dumbing down untuk menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah. "Istilah yang rumit yang disederhanakan ini akan lebih ditangkap mereka dan menjadi atensi," ujarnya. Dalam konteks Sandiaga Uno, dia melanjutkan, sasarannya ialah kaum menengah dan milenial.
Nyarwi mengatakan politik dumbing down acap dilakukan politikus lawan inkumben atau yang baru muncul namanya dalam kontestasi pemilihan umum. Hal yang sama pernah dilakukan Joko Widodo saat ia melenggang menjadi calon presiden dalam pemilihan pada 2014 lalu.
"Saat itu banyak ujaran Jokowi yang sederhana dan justru diingat rakyat," ucapnya. Namun ujaran yang disebut kreatif itu tak muncul lagi pasca-Jokowi menjabat RI-1. Musababnya, dengan statusnya sebagai Presiden, secara protokoler, ia kudu membahasakan pidatonya dengan "gagah" dan elegan, termasuk untuk pemilihan istilah atau kata.
Bila dumbing down masih digunakan, kata Nyarwi, akan timbul sinisme. Masyarakat juga akan menganggap Jokowi tidak elegan.
Adapun dumbing down diakui menjadi kelebihan lawan inkumben untuk menarik daya pikat. Sebab, lantaran belum terkungkung protokoler, ia masih bebas menceletukkan istilah se-tak-biasa apa pun. "Manuver dia memainkan political dumbing down lebih tinggi. Kalau sudah ada di pemerintahan kan normatif," tuturnya.
Baca juga: Ekonomi Adil dan Makmur, 5 Visi Misi Prabowo - Sandiaga
Dampaknya, politik dumbing down ini akan membuat elektabilitas Sandiaga Uno meningkat bila maksudnya ditangkap baik oleh masyarakat. Sinisme terhadapnya pun akan makin rendah. Namun, bila digunakan dalam intensitas yang rapat, politikus justru akan dinilai tak elegan.
Adapun pakar linguistik dari Universitas Gadjah Mada, I Dewa Putu Wijana, mengatakan istilah yang dilontarkan Sandiaga belakangan dinamakan metafora. Metafora ialah menyebut sebuah istilah dengan kata pengganti yang tak sesuai dengan maknanya.
Metafora, kata Putu, sangat lumrah terjadi di lingkungan politik, termasuk untuk tujuan menyerang lawan.
"Metafora ini muncul dipengaruhi oleh budaya. Misalnya konotasi tempe di Indonesia," katanya. Saat ini, fenomena politikus pengguna ujaran metafora terus meningkat. Perumpamaannya pun terus bertambah dan berubah.
"Misalnya tempe saset, itu sesuai dengan waktu dan situasi pemakaiannya," ujar Putu.