TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, mengatakan bahwa aksi 212 justru membuka keran naiknya intoleransi di Indonesia. "Ada klaim dari sarjana mengatakan bahwa demo-demo anti Ahok adalah puncak radikalisme, itu kurang kuat justifikasinya. Yang terjadi justru sebaliknya," kata Burhanuddin di Sari Pacific Hotel, Jakarta, Senin, 24 September 2018.
Baca juga: Setara Institute: Terorisme Bermula dari Intoleransi
Burhanuddin mengatakan, pernyataannya itu berdasarkan data hasil survei yang dilakukan LSI tahun ini dan membandingkannya dengan data pada 2016 dan 2017. Survei tersebut menunjukkan bahwa ada tren peningkatan intoleransi politik pasca-demo anti Ahok.
Dari simulasi pertanyaan kepada responden muslim yang keberatan atau tidak jika orang non-muslim menjadi presiden, sebanyak 59 persen responden menjawab keberatan. Angka tersebut meningkat dibandingkan 2016 dan 2017, yaitu 48 dan 53 persen keberatan non muslim jadi presiden.
Adapun responden muslim yang keberatan jika non-muslim jadi wakil presiden sebanyak 55 persen. Pada data 2016 dan 2017, sebanyak 41 dan 50 persen responden muslim keberatan non-muslim menjadi wakil presiden.
Sedangkan responden muslim yang keberatan non muslim menjadi gubernur sebanyak 52 persen di 2018. Angka tersebut juga meningkat dibandingkan 2016 dan 2017, yaitu 40 dan 48 persen.
Selanjutnya, responden muslim yang keberatan non-muslim menjadi bupati atau wali kota sebanyak 52 persen di 2018. Pada 2016 dan 2017, responden muslim yang keberatan sebanyak 39 dan 47 persen.
Menurut Burhanuddin, faktor lainnya yang membantah argumen bahwa demo anti Ahok merupakan puncak radikalisme adalah survei mengenai tren intoleransi religius-kultural sebelum 2016. "Sebelum demo-demo anti Ahok, tren intoleransi mengalami penurunan," ujarnya.
Berdasarkan survei LSI pada 2010, tren intoleransi religius-kultural justru tinggi, yaitu 64 persen responden muslim menjawab keberatan jika non-muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggal mereka. Angka tersebut menurun pada 2011, 2016, dan 2017, dengan rincian 61, 52, dan 48 persen yang menjawab keberatan. Namun, tren sedikit meningkat pada 2018, yaitu 52 persen.
Baca juga: Pengajar Universitas Arab: Impor Budaya Arab Memicu Intoleransi
Sementara responden muslim yang keberatan non-muslim mengadakan acara keagamaan tercatat sebanyak 52 persen pada 2010. Trennya kian menurun pada 2011, 2016, dan 2017, dengan rincian 50, 40, dan 36 persen. Sedangkan pada 2018, data survei menunjukkan peningkatan tipis dengan 38 persen.
Tren penurunan intoleransi religius-kultural itu, kata Burhanuddin, juga segaris lurus dengan pesan yang dikirimkan Imam Besar FPI, Rizieq Syihab, dan Ustad Bachtiar Nasir.
"Bahwa demo anti Ahok bukan berarti orang Islam rasis kata mereka berdua. Kita tetap welcome jika non-muslim buat acara keagamaan. Kita enggak ada masalah secara sosial, problem kita adalah jangan sampai non-muslim menjadi pemimpin," kata dia mengutip pernyataan dua tokoh agama tersebut.