TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute mencatat pelanggaran atau kekerasan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2018 naik dibanidngkan dengan tahun lalu. SETARA mencatat hingga Juni 2018 ada 109 intoleransi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Baca: Setara Institute: Terorisme Bermula dari Intoleransi
"Ini adalah riset kami yang ke-11 sejak 2007. Khusus tahun ini, pelanggaran KBB meningkat dari periode yang sama di tahun lalu," kata Direktur Setara Institute, Halili, di kantornya, Senin, 20 Agustus 2018. Halili mengungkapkan, pada Juni 2017, Setara mencatat hanya terjadi 80 pelanggaran KBB dengan 99 tindakan.
Peningkatan itu, kata Halili, secara umum disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, peningkatan intensitas politisasi agama yang sejalan dengan tahun politik.
"Ada kepentingan politik elektoral. Di mana tidak ada inisiatif dari pemerintah karena ada kepentingan itu," kata Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos.
Kedua, kasus intoleransi yang meningkat pada level individu dan kelompok warga. Data Setara menyebutkan individu dan kelompok warga menduduki dua peringkat teratas pelaku pelanggaran KBB non negara.
Lalu, faktor ketiga adalah kompleksitas persoalan pasal penodaan agama. "Penodaan agama adalah salah satu pelanggaran yang tren setelah kasus Ahok mencuat," kata Halili.
Kemudian, masalah melek digital dalam instrumentasi media sosial dan dunia maya oleh warganet. Ia menuturkan, media sosial saat ini sebagai wadah untuk mengungkapkan ujaran kebencian dan diskriminatif.
Simak juga: Pengajar Universitas Arab: Impor Budaya Arab Memicu Intoleransi
Sementara itu, dari 109 peristiwa intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, ada lima provinsi menduduki peringkat teratas dengan jumlah kejadian pelanggaran. Kelimanya adalah DKI Jakarta dengan 23 kasus, Jawa Barat dengan 19 kasus, Jawa Timur dengan 15 kasus, DI Yogjakarta dengan 9 kasus dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 7 kasus.