TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo mengatakan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri pernah menyetujui penghapusbukuan sebagian utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI milik Sjamsul Nursalim. Dia mengatakan itu saat menjadi saksi meringankan untuk terdakwa perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca juga: Kasus BLBI, KPK Belum Bisa Panggil Paksa Sjamsul Nursalim
"Presiden menyatakan, baik itu dilaksanakan, kata-kata itu sering kali keluar dan menjadi polanya," kata dia saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.
Bambang menuturkan keputusan itu diambil Megawati saat rapat kabinet terbatas pada 11 Februari 2004. Dalam rapat itu hadir sejumlah menteri, termasuk dirinya, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Syafruddin selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam surat dakwaan menyebut pada rapat itu, Syafruddin melaporkan soal utang petani tambak Dipasena yang berjumlah Rp 3,9 triliun. Utang itu menjadi salah satu aset milik Sjamsul yang diberikan ke negara untuk membayar utang BLBI.
Menurut jaksa, Syafruddin melaporkan sebanyak Rp 2,8 triliun utang itu macet, sementara Rp 1,1 triliun sisanya bisa ditagih. Syafruddin mengusulkan penghapusbukuan terhadap Rp 2,8 triliun kredit macet. Rapat tak mengambil keputusan, namun Syafruddin didakwa membuat seolah rapat menyetujui usulannya. "Syafruddin juga tidak menjelaskan misinterpretasi pada saat aset itu diserahkan ke BPPN."
Baca juga: Resolusi Tuntaskan Kasus BLBI, Ini Langkah yang Dilakukan KPK
Jaksa mengatakan, kesimpulan rapat yang dia buat sendiri kemudian menjadi landasan Syafruddin menerbitkan SKL bagi pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Namun belakangan, keputusan Syafruddin mengeluarkan SKL membuatnya harus berurusan dengan lembaga antirasuah.
KPK mendakwa Syafruddin bersama Dorodjatun merugikan negara Rp 4,58 triliun dari penerbitan SKL untuk Sjamsul. Mereka juga didakwa telah memperkaya Sjamsul dari penerbitan SKL tersebut.
Namun, Bambang mengatakan sebenarnya dalam rapat itu tidak spesifik membahas utang Sjamsul Nursalim. Menurut dia, rapat lebih banyak membahas soal kondisi petani plasma Dipasena yang kian terpuruk imbas krisis moneter 1997. "Masalah petani tambak dikhawatirkan meluas menjadi masalah sosial dan keamanan," kata dia.
Menurut Bambang, dari kondisi tersebut, kemudian muncul wacana untuk memotong hutang petambak. "Sepemahaman saya semuanya menyepakati langkah itu," kata dia.
Baca juga: KPK Dalami Pengetahuan Boediono Soal Penerbitan SKL BLBI
Bambang mengakui memang tidak ada keputusan rapat secara tertulis soal penghapusbukuan utang petambak. Namun, dia yakin rapat menyetujui usulan tersebut. "Mungkin tidak ada keputusan persetujuan atau apa, tapi itulah yang terjadi dan presiden menyatakan baik itu dilaksanakan itu," kata Bambang.
Jaksa KPK Chaerudin mengatakan kesaksian Bambang bersifat subyektif. Dia mengatakan KPK memiliki bukti notulensi rapat, bahwa pembahasan soal utang petambak tidak mencapai kesimpulan. "Dalam notulensinya ada usulan, pembahasan dan kesimpulan, khusus untuk hutang ini enggak ada kesimpulan," kata dia.