TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu resolusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah memprioritaskan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI untuk diselesaikan pada 2018. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyebutkan KPK sedang berfokus mengusut perkara BLBI.
Meski begitu, KPK tak memberikan kejelasan waktu untuk menuntaskan perkara tersebut. "Kalau bicara soal penuntasan, tentu saja nanti kami akan lihat dari pengembangan penanganan perkara dan kecukupan buktinya," ucap Febri di gedung KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa, 2 Januari 2018.
Baca: Laode KPK: Resolusi 2018, Kasus BLBI dan E-KTP Tuntas
Febri berujar, KPK memerlukan proses panjang untuk menuntaskan kasus BLBI. Sebab, kasus ini sudah lama terjadi dan ada kompleksitas administrasi.
Menurut Febri, banyak surat yang diterbitkan dalam implementasi kasus BLBI. Misalnya, sebelum surat keterangan lunas (SKL) diterbitkan, harus ada surat keputusan yang ditandatangani Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Karena itu, saat ini KPK tengah berfokus memeriksa surat keputusan dari KKSK. KPK harus memastikan soal substansi, proses, dan benar-tidaknya surat telah diterbitkan. "Jadi harus kami uraikan satu per satu. Sebab, ketika kasus ini dibawa ke persidangan, kami ingin semua celah untuk melawan balik kasus KPK ini sudah diantisipasi sejak awal," tutur Febri.
Baca: Kasus BLBI, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti Diperiksa KPK 6 Jam
Hingga kini, KPK masih berfokus pada proses penyidikan Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK telah menetapkan Syafruddin sebagai tersangka.
Dengan begitu, dia adalah satu-satunya tersangka dugaan suap BLBI. Namun, menurut Febri, bukan berarti KPK hanya menjerat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 itu. "Tentu kami juga harus dalami pihak-pihak lain yang terlibat," katanya.
Kasus BLBI bermula dari pemberian SKL kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Padahal BDNI belum menuntaskan kewajibannya untuk membayar utang yang totalnya Rp 4,8 triliun.
Dari hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diterima KPK pada 25 Agustus 2017, ada nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun. "Dari laporan tersebut, nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun," ucap Febri.
Adapun SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Inpres itu dikeluarkan saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi.