TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai mencuatnya polemik ihwal besaran gaji dan tunjangan kepada pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP untuk melemahkan posisi badan tersebut. Ia meminta publik tak resisten terhadap keberadaan BPIP.
"Jadi jangan terus resisten terhadap keberadaan lembaga itu. Ini jadi seolah ada upaya tertentu untuk melemahkan lembaga itu supaya tidak berfungsi," ujarnya saat ditemui wartawan di Gunung Puntang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Selasa, 29 Mei 2018.
Baca juga:
Baca: Jokowi: Gaji Pejabat BPIP Sudah Dikalkulasi Kementerian Keuangan
Menurut dia, BPIP memang sangat diperlukan masyarakat untuk melawan radikalisme dan aksi terorisme dengan memberikan pemahaman yang mendalam tentang ideologi Pancasila. "Kalau BPIP dalam kondisi masyarakat lagi kering persoalan-persoalan ideologi, di mana ancaman radikalisme semakin tinggi dan seterusnya, maka badan itu sangat diperlukan," katanya.
Moeldoko mengaku sudah beberapa kali berdiskusi dengan Kepala BPIP Yudi Latif terkait dengan strategi deradikalisasi dan sosialisasi pemahaman ideologi Pancasila kepada masyarakat. "Saya selaku Kepala Staf Kepresidenan berusaha beberapa kali pertemuan dengan Pak Yudi Latif untuk membicarakan bagaimana mengarusutamakan Pancasila ini dengan baik," ucapnya.
Baca juga:
Baca: Jokowi Teken Perpres Hak Keuangan BPIP, Gaji Megawati Rp 112 Juta
Moeldoko enggan berkomentar lebih banyak saat disinggung ihwal besaran honor petinggi BPIP yang menjadi polemik, termasuk honor yang diterima Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Sukarnoputri. Dia berdalih urusan gaji pejabat BPIP merupakan kewenangan Kementerian Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, Megawati disebut berhak mendapatkan honor Rp 112 juta per bulan. "Saya pikir ada standarnya, ya. Jangan saya yang menjawab, ya. Menteri Keuangan sudah punya standar. Saya enggak mau jawab itu," tuturnya.