TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Panitia Khusus Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Muhammad Syafii mengatakan RUU tersebut ada kemungkinan bisa disahkan pada Jumat, 25 Mei 2018.
"Rabu rapat panja, Kamis pansus mini fraksi, dan Jumat paripurna pengesahan," kata Syafii di Kompleks Parlemen, Senin, 21 Mei 2018.
Baca: Wakil Pansus DPR Sebut RUU Antiterorisme Bersifat Preventif
Syafii menjelaskan, RUU Antiterorisme sudah 99,9 persen selesai. Masalah yang tersisa hanya kesepakatan mengenai definisi. Sebab, dalam rapat yang berlangsung pada Rabu, 23 Mei 2018, agendanya tunggal, yaitu membahas definisi.
Menurut politikus Partai Gerindra ini, pada dasarnya pemerintah, yaitu Kapolri, Panglima TNI, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Menteri Pertahanan, sudah sepakat harus ada frasa motif politik dalam definisi itu. Namun ada penolakan dari satuan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88).
"Kami juga heran kenapa Densus menolak. Kami tidak ingin kembali ke era subversif, karena enggak ada batasan yang valid, bisa ditarik ke sana-ke sini, akhirnya yang menetapkan seseorang teroris apa bukan, aparat di lapangan, bukan hukum," ucapnya.
Syafii menuturkan Densus 88 beralasan, jika dimasukkan frasa motif politik, akan mempersempit ruang gerak mereka lantaran harus diketahui dulu apakah ada motif politik atau tidak. "Mempersempit apanya? Kalau biar enggak bebas menangkap, ya, memang," tuturnya.
Baca: 4 Hal yang Jadi Kontroversi di RUU Antiterorisme
Desakan agar RUU ini segera diselesaikan menguat seusai rentetan aksi teror, mulai kericuhan antara narapidana teroris dan aparat di rumah tahanan cabang Salemba di Kompleks Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok; ledakan bom bunuh diri di tiga gereja dan kantor Kepolisian Resor Surabaya; bom bunuh diri di Sidoarjo; dan serangan di kantor kepolisian daerah Riau.
Presiden Joko Widodo mengatakan, jika RUU ini tidak kunjung selesai hingga bulan depan, ia akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.