TEMPO.CO, Jakarta - Aksi terorisme dengan bom bunuh diri di Surabaya yang melibatkan pelaku dari satu keluarga baru pertama kali terjadi di Indonesia. Keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak itu melakukan teror dan meledakkan bom yang menempel di tubuh mereka.
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina Ihsan Ali Fauzi mengatakan penyebaran paham radikalisme memang lebih mudah dilakukan kepada keluarga. Hal itu juga sempat diungkapkan dalam penelitian Hafes pada 2016.
Penelitian ini, ucap Ihsan, menyatakan keamanan yang makin meningkat mendorong rekrutmen berbasis keluarga dianggap lebih aman. "Penularan paham radikalisme di dalam keluarga juga sulit dideteksi," ujar Ihsan di kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Kamis, 17 Mei 2018.
Baca: Mengapa Bom di Surabaya? Ini Kata Pengamat Terorisme
Karena itu, menurut Ihsan, ikatan keluarga mempercepat radikalisasi. Pertimbangannya bukan lagi politik atau ideologi, tapi ikatan keluarga. Dalam hubungan keluarga, ada cinta, trust atau kepercayaan, dan kesediaan berkorban. Dengan begitu, mereka sulit berkhianat karena memiliki hubungan keluarga.
Hal ini juga yang dirasakan mantan narapidana terorisme, Ali Fauzi Manzi. Dia adalah adik teroris Ali Imron dan Amrozi. Keduanya adalah pelaku Bom Bali I tahun 2002.
Sejak berusia 18 tahun, Ali menceritakan, ia bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia bertugas merakit bom. Keempatnya ditangkap dan dipenjara. Saudaranya dihukum mati dan seumur hidup.
Baca: Ada Pengamanan Khusus di Sidang Aman Abdurrahman Hari Ini
Keluar dari penjara, Ali mendapat pengobatan medis dibiayai polisi. Pandangannya tentang polisi yang jahat pun berubah karena ia diperlakukan manusiawi. Ali lantas melanjutkan hidupnya dengan berkuliah dan menjadi pengamat teroris hingga membentuk lembaga deradikalisasi untuk mantan teroris di Surabaya.
Ali pun menuturkan tidak hanya hubungan keluarga yang bisa membuat orang bisa terikat dan terbentuk ideologi radikalnya. "Proses yang terjadi di tempat pembinaan calon teroris juga bisa," ujarnya. Ia mengatakan, pada dasarnya, sebuah komunitas teroris itu menyediakan dua dukungan kepada anggotanya.
Pertama adalah dukungan nonmateri, yakni ideologi dan persaudaraan atau pertemanan. Komunitas ini memberikan pemahaman radikal kepada anggotanya melalui lembaga pendidikan, daurah, idad, dan lainnya. Dukungan yang kedua adalah materi, yakni bantuan pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. "Hadirnya dua support itu yang mengikat anggotanya sehingga sulit keluar," ucap Ali. Akhirnya, muncul perasaan khawatir, jika keluar, mereka tidak mendapat dua dukungan itu, tidak punya teman, dan dikucilkan.
Baca: BNPT Dukung Koopssusgab Dihidupkan Lagi untuk Tangani Terorisme