TEMPO.CO, Jakarta - Samsul Huda, penasihat hukum terpidana korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau korupsi e-KTP, Andi Agustinus Narogong, mengatakan telah mengajukan permohonan kasasi kliennya. "Klien kami mengajukan permohonan kasasi bukan karena merasa tidak bersalah, tapi langkah itu harus ditempuh,” ucap Samsul dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 9 Mei 2018.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman Andi dari 8 tahun penjara menjadi 11 tahun dirasanya sangat tidak adil. “Tidak sesuai dengan kebenaran materiil yang telah terungkap dalam persidangan tingkat pertama."
Baca: Partai Golkar Yakin Bisa Dongkrak Citra akibat Kasus Setya
Samsul menyebutkan kliennya seharusnya tidak mendapat tambahan hukuman saat putusan banding. Alasannya, Andi telah dinyatakan sebagai justice collaborator pada perkara korupsi itu, baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pengadilan tingkat pertama, maupun pengadilan banding.
Menurut Samsul, seharusnya, sebagai justice collaborator, Andi mendapat keringanan hukuman, seperti diatur dalam Pasal 37 ayat 2 Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan Pasal 26 ayat 2 Konvensi PBB Anti-Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 yang diratifikasi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2009. "Putusan PT DKI justru memperberat hukuman klien kami. Ini tidak sesuai dengan keadilan."
Baca: Fredrich Yunadi Protes Jaksa Hadirkan Saksi Penyidik Kasus E-KTP...
Selain itu, menurut Samsul, kliennya bukan pelaku utama perkara korupsi proyek e-KTP lantaran bukan pejabat yang berwenang menyusun ataupun mengendalikan proses penganggaran dan pelaksanaan proyek.
Kliennya hanya meminta hak dan keadilan terhadap kontribusinya sebagai justice collaborator yang telah membuka lebih dalam korupsi e-KTP ini. PT DKI, tutur dia, menambah jumlah pidana penjara Andi tanpa pertimbangan hukum yang memadai. “Bahkan berbeda secara diametral dengan pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama."